GEBANG--Sudah tiga hari, sejumlah nelayan di wilayah Gebang dan sekitarnya tak bisa melaut karena kondisi cuaca buruk yang melanda perairan Laut Jawa selama sepekan ini. Dengan kondisi ini membuat pendapatan sehari-hari mereka menjadi berkurang dan memaksa putar otak agar dapur tetap ngebul.
Damin, salah satu nelayan asal Desa Gebangmekar, Kecamatan Gebang mengatakan bahwa kondisi cuaca ekstrim yang melanda sebagian besar wilayah perairan di Indonesia termasuk Laut Jawa membuat para nelayan tradisional yang hanya mengandalkan alam kesulitan melaut.
Mereka terkendala oleh kondisi alam yang tak bersahabat, seperti tingginya gelombang laut, hujan dan minimnya ikan di dalam perairan. "Untuk sementara dalam minggu-minggu ini, kami terpaksa tidak melaut untuk mencari ikan karena caucanya tak bersahabat," katanya.
Akibat tak melaut, nelayan akhirnya menjadi pengangguran sementara dirumah sambil menunggu cuaca normal kembali. Pada kondisi inilah penghasilan untuk sehari-hari para keluarga nelayan menjadi berkurang. Biasanya, dalam kondisi cuaca normal dengan hasil tangkapan laut yang lumayan banyak Rp100ribu hingga Rp200 ribu dikantonginya setiap hari. "Tapi, kalau kondisi sekarang boro-boro pegang uang mas," ujar pria yang berusia 40 tahun ini.
Solusi agar dapur tetap ngebul Damin menjelaskan, terpaksa istrinya yang mencari nafkah tambahan dengan ikut membantu para bandar rajungan mengupas kulit rajungan untuk kepentingan ekspor. Setiap hari dengan durasi waktu 5 sampai 6 jam mengupas kulil rajungan yang keras hanya dengan mengandalkan kedua tangannya dengan upah Rp20ribu sampai 30 ribu tergantung dari banyaknya rajungan yang dikupas. "Ya lumayan mas untuk tambahan uang dapur dan jajan anak-anak," jelasnya.
Ia pun berharap agar kondisi cuaca yang ektrem ini segara berakhir dan kami para nelayan tradisional bisa kembali melaut guna mencari nafkah untuk keluarga. "Ini kan alam, jadi tidak ada yang menduga, ya kami hanya bisa berharap bisa segera normal cuaca ini," ungkapnya.
Hal yang sama juga dialami oleh nelayan di Desa Citemu, Kecamatan Mundu. Angga misalnya, ia sudah dua hari ini tidak melaut karena cuaca buruk yang menyebabkan gelombang laut tinggi yang mencapai 1,5 meter ditambah tak adanya ikan di perairan pinggiran Laut Jawa. "Sejak dua hari lalu kami hanya bekerja untuk memperbaiki jaring dan membersihkan perahu, karena laut sedang tak baik," katanya.
Berbeda dengan nelayan di Desa Mundupesisir yang tetap nekat melaut meski kondisi cuaca sedang ekstrem. Menurut Kuwu Mundupesisir, Agus Kholiq bahwa para nelayan yang ada didesanya sebagian besar terpaksa harus melaut dengan alasan urusan perut. "Jika tak melaut mereka mau makan apa" Cuaca ekstrem tak mempengaruhi mereka," tuturnya.
Diakui Agus, bahwa cuaca ekstrem menjadi persoalan tersendiri bagi para nelayan di Desa Mundupesisir dan hingga saat ini belum ada solusi alternatifnya, karena merupakan faktor alam yang tidak bisa dicegah. "Terkadang nelayan harus nekad melawan alam, meskipun nyawa taruhannya demi memenuhi kebutuhan hidup," ungkapnya.
Tak hanya cuaca ektrem saja yang mengusik ketenangan para nelayan, rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Nelayan di Desa Mundupesisir menjadi resah dan tidak tahu harus berbuat apa jika harga BBM itu dinaikan, karena dengan kondisi sekarang saja mereka masih merasa kesulitan apalagi bila BBM naik. "Sudah cuaca ekstrem, BBM juga mau naik mau dibawa kemana nasib nelayan tradisional," terangnya.
Pihaknya berharap, pemerintah membuat kebijakan yang bisa berpihak kepada masyarakat kecil meski harga BBM dinaikkan. Karena, banyak masyarakat yang mengeluh padanya, jika BBM itu benar-benar dinaikkan. "Saya sebagai perwakilan pemerintah di tingkatan desa hanya bisa berharap pemerintah pusat bisa memberikan kebijakan yang arif dan bijaksana, agar masyarakat tidak mengalami kesulitan hidup," pungkasnya. (jun)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 40 Persen Wilayah KTI Masih Gelap
Redaktur : Tim Redaksi