jpnn.com - JAKARTA – Anggota Komisi X DPR RI, Puti Pramathana Puspa Seruni Paundrianagari Guntur Soekarno atau lebih dikenal dengan Puti Guntur Soekarno mengatakan saat ini kaum perempuan di Indonesia dapat menikmati pengakuan dan pemenuhan hak-hak atas jabatan di pemerintahan yang setara dengan kaum laki-laki. Kuota wakil rakyat dari unsur perempuan dihormati.
“Bahkan perempuan Indonesia bersyukur bangsa Indonesia mampu menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin negara yaitu saat Ibu Megawati Soekarnoputri menjadi orang nomor satu di Indonesia sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia,” ujar Puti Guntur Soekarno melalui siaran pers diterima di Jakarta, Senin (25/4).
BACA JUGA: PSI Fokus Gaet Anak Muda, Manfaatkan Medsos
Puti menyampaikan hal tersebut terkait Peringatan Hari Kartini dan disampaikan dalam kegiatan Lokakarya Politik dengan tema “Kemajuan Perempuan sama dengan Kemajuan Peradaban Bangsa” di Aula MUI Depok, Jawa Barat, Minggu (24/4).
Menurut cucu dari Presiden Pertama RI, Soekarno ini, puncak jabatan yang bisa didaki dan digapai kaum perempuan, sejatinya bukanlah esensi perjuangan Kartini. Kehendak agar perempuan mendapatkan pendidikan dan pengetahuan, diutamakan bukan untuk menyaingi kaum laki-laki, akan tetapi lebih untuk menyempurnakan perannya pada peradaban dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
BACA JUGA: Jonan Ingin Pemuda Kristen Tingkatkan Pengabdian
“Kemuliaan kalimat inilah yang suka atau tidak suka acap ditafsir secara keliru,” katanya.
Menurut Puti, pemaknaan Hari Kartini bukan lagi kepada hakikat “penyempurnaan peran perempuan pada peradaban”, melainkan pada aktivitas seremonial. Kajian ilmiah atas statistik angka perempuan yang berpendidikan dan berpengetahuan, disandingkan dengan perannya pada peradaban bangsa, menjadi tidak lagi terukur.
BACA JUGA: Bu Rini Ada yang Desak Mundur Lagi Nih..
“Bukankah itu pesan moral dari surat-surat Kartini? Celakanya, ketiadaan guideline atas peran perempuan pada peradaban bangsa tadi, menjadikan peringatan hari Kartini dari tahun ke tahun, perlu pencerahan kembali,” cetusnya.
Menurut Puti, publik tidak lagi heran mendengar seorang anak atau remaja melempar jawab, “Hari berkebaya”, ketika ditanya, “Apa makna hari Kartini bagimu?” Itulah yang terjadi, manakala bangsa ini meninggalkan sejarah.
Padahal, kata dia, Bung Karno sejatinya sudah melakukan kajian mendalam atas surat-surat Kartini. Kemudian menurunkannya dalam enam buah artikel tentang perempuan Indonesia dalam buku berjudul “Sarinah”.
Ia menjelaskan, catatan-catatan Soekarno tentang perempuan itu, bahkan sudah dijadikan bahan ajar dalam kursus-kursus perempuan di awal kemerdekaan. Buku Sarinah terbit pertama kali tahun 1947, itu terdiri atas 6 bab, setebal 329 halaman.
Bab 1 - Soal Perempuan; Bab 2 – Laki-laki dan Perempuan; Bab 3 – Dari Gua ke Kota; Bab 4 – Martiarchart dan Patriarchat; Bab 5 – Wanita Bergerak; dan Bab 6 – Sarinah dalam Perjoangan Republik Indonesia.
“Buku Sarinah karya Bung Karno adalah lampu pijar bagi bangsa ini untuk memahami posisi kaum perempuan Indonesia. Bung Karno berupaya mengungkapkan makna kemerdekaan dan kesetaraan perempuan “ala” Indonesia, bukan yang lain,” tegasnya.
Lebih jauh, Puti berharap ada sebuah gerakan yang tidak hanya berbunyi setahun sekali, tetapi menjadi pergerakan kaum perempuan dalam membangun Indonesia. Menurutnya, perempuan tidak bisa hanya berpuas karena perempuan Indonesia sudah mengeyam pendidikan tinggi, sudah tidak terkungkung lalu selesailah persoalan perempuan.
Ia mengingatkan penghancuran identitas dan martabat perempuan akibat pengaruh ekonomi, politik dan budaya sampai hari ini tetap ada. Dengan demikian, peringatan Hari Kartini tidak sekadar parade perempuan berkebaya.
Lebih dari itu, kata dia, ada grafik yang terukur tentang peran perempuan terdidik dalam membangun peradaban bangsa di tengah tamansarinya peradaban dunia. “Itulah sejatinya perempuan Indonesia,”ujarnya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Imbau Kaum Hawa Tak Hanya Berjuang untuk Keluarga
Redaktur : Tim Redaksi