jpnn.com, JAKARTA - Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Indonesia, memperkirakan dampak negatif dari kebijakan pemerintah menaikan cukai dan harga jual eceran (HJE) rokok akan terlihat di pertengahan Maret ini.
Kebijakan tersebut menjadikan harga jual rokok semakin tinggi, akibatnya penjualan rokok yang legal menjadi semakin susah.
BACA JUGA: Ini Langkah Bea Cukai Tekan Peredaran Rokok Ilegal
Hal ini bisa berakibat pada penurunan jumlah produksi rokok yang berimbas pada pengurangan tenaga kerja, pengurangan pembelian bahan baku rokok yang pada akhirnya merugikan petani cengkih dan tembakau serta masyarakat luas.
“Hingga akhir Februari kami masih menggunakan cukai tahun lalu. Namun mulai Maret ini kami menggunakan cukai yang harganya sudah dinaikan pemerintah. Demikian juga harga jual ecerannya. Sehingga Maret dan April ke sana akan terlihat dampak negatifnya," ujar papar Ketua Gabungan Pabrik Rokok Malang (Gaperoma) Johni di Jakarta.
BACA JUGA: Industri Tembakau Menuntut Kepastian Nasib kepada Pemerintah
Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, jika terjadi kenaikan cukai rokok, akan ada pengurangan produksi.
Apalagi menurut Johni kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum lama ini menyesakkan. Di mana kenaikan 23 persen.
BACA JUGA: Pemerintah Tidak Bisa Andalkan Cukai Tembakau dan Alkohol
"Kemungkinan besar berdampak pada pengurangan tenaga kerja dan pengurangan pembelian bahan produksi,” imbuh Johni.
Akibat kenaikan Cukai dan HJE rokok yang amat tinggi, pihak pengusaha, dan pengelola industri hasil tembakau mengalami kesulitan dalam membuat perencanaan keuangan dan produksi ke depan.
Selain itu, pihaknya juga mengalami kesulitan dalam perencanaan cash flow keuangan.
“Kalau pemerintah terlalu tinggi menaikan cukai dan harga jual eceran, yang rugi pemerintah sendiri. Sebab, harga jual rokok menjadi berlipat lipat. Konsumen akan kesulitan membeli rokok yang legal. Akibatnya konsumen akan membeli rokok yang illegal. Perokok akan mencari yang lebih murah sesuai dengan kemampuan kantungnya," papar Ketua Gapero Malang Johny.
Menurut dia, kemungkinan besar, masyarakat akan beralih ke rokok elektrik atau rokok illegal.
"Rokok elektrik tidak dikenai cukai, pemerintah tidak mendapatkan apa-apa. Selain itu juga sedikit menggunakan kandungan tembakaunya. Akibatnya, pemakaian tembakau sedikit, hal ini merugikan masyarakat petani tembakau juga buruh pabrik rokok,” sebutnya.
Sebaliknya, jika masyarakat tidak beralih ke rokok elektrik, masyarakat akan mencari rokok yang lebih murah. Rokok illegal sasaran mereka. Karena illegal mereka tidak menggunakan cukai. Karena tidak menggunakan pita cukai, pemerintah tidak mendapatkan apapun.
“Jika masyarakat beralih pada konsumsi rokok illegal atau rokok elektrik, maka akan merugikan semuanya. Pemerintah rugi. Industri rokok nasional juga rugi. Demikian juga petani dan buruh industri hasil tembakau mengalami kerugian," paparnya.
Karena itu pemerintah khususnya kementerian keuangan, harus hati-hati dalam mengambil kebijakan di bidang cukai rokok.
"Industri rokok itu jangan dimusuhi. Tapi dirangkul dan diajak bicara. Karena industri rokok itu mitra pemerintah dan juga mitra masyarakat karena sudah memberikan banyak pemasukan kepada pemerintah,” serunya.
Untuk itu, dia berharap di tahun mendatang, pemerintah khususnya kementerian keuangan tidak lagi membuat kebijakan yang sangat merugikan dan memberatkan masyarakat industri hasil tembakau. Yakni menaikan cukai rokok dan harga jual eceran yang sangat tinggi.
Menurut Johny, jika pemerintah ingin menaikkan cukai rokok, setidaknya itu dilakukan pada 2021 atau 2022. Besaran kenaikannya tidak melebihi angka inflasi.
Paling banyak 10 persen, bukan seperti 2019-2020 yang kenaikannya mencapai 23 persen.
“Kami berharap kejadian di akhir 2019 lalu tidak terulang. Kenaikannya sangat memberatkan kami sebagai pelaku usaha di bidang industri hasil tembakau. Kenaikannya jangan melebihi angka inflasi,” papar Johny.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy