Curhat Nelayan Terdampak Larangan Ekspor Benur: Kesejahteraan Pergi, Anak Istri Ditahan Polisi

Minggu, 13 Agustus 2023 – 01:30 WIB
Ismail di Pantai Bumbang, saat acara silaturahmi bersama Penggiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN). Foto: Edi Suryansyah/JPNN.com

jpnn.com, LOMBOK TENGAH - Larangan ekspor Benih Bening Lobster (BBL) membuat nelayan di berbagai daerah terjepit.

Tak terkecuali para nelayan yang ada di Pantai Bumbang, Desa Mertak, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, NTB.

BACA JUGA: Nelayan Balad Ganjar Beri Bantuan Peralatan Perbaikan Kapal di Pangandaran

Mereka tak bisa melakukan budidaya karena keterbatasan alat, tetapi juga tak bisa menangkap BBL atau benur karena terbentur aturan.

Salah satu nelayan, Ismail (38), mengaku pernah digerebek oleh aparat karena menangkap BBL.

BACA JUGA: Nelayan Banten Minta Larangan Ekspor Benur Dicabut

Mirisnya, saat itu anak dan istrinya yang dibawa ke kantor polisi, karena dia sedang tidak ada di rumah.

"Sekitar 4 tahun yang lalu pernah digerebek di rumah. Saya nggak di rumah, yang dibawa istri dan anak saya. Dibawa sama BB-nya (barang bukti) sedikit," kata Ismail di Pantai Bumbang, saat acara silaturahmi bersama Penggiat Budidaya Lobster Nusantara (PBLN), Sabtu (12/8).

BACA JUGA: Asuransi Sinar Mas Beri Edukasi Keuangan bagi UMKM & Nelayan di Banyuwangi

Ismail menyebut, istri dan anaknya sempat tertahan di kantor polisi selama seharian.

Mereka bisa bebas setelah Ismail menyerahkan bukti izin budidaya yang memang telah dikantonginya.

"Bisa pulangnya karena kan saya pakai izin budidaya," kata bapak tiga anak ini.

Ismail bercerita keluarganya pernah hidup sejahtera sekitar tahun 2012-2015 saat penangkapan BBL dilegalkan.

Bahkan harga BBL saat itu bisa mencapai Rp 50 ribu per ekor.

"Harga tertinggi pernah Rp 50 ribu per ekor. Kami pernah hidup sejahtera. Orang di Praya (Lombok Praya) punya toko, kami bisa belanja, (uangnya) hasil dari lobster," tuturnya.

Saat ini kata Ismail, harga BBL hanya berkisar Rp 1-2 ribu per ekor. Itu pun, jumlah yang bisa terjual sangat sedikit karena keramba untuk budidaya hanya ada di Lombok Timur dan jumlahnya sangat terbatas.

"Kadang sebulan, 2 bulan, kalau buka keramba di Lombok Timur, baru kami bisa buka ke sana," keluhnya.

"Itu pun kalau masih ada stok. Kalau tidak ada keramba, kita berhenti," sambungnya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua PBLN Syaifullah mengaku akan menyampaikan keluhan tersebut ke DPR.

"Harapan kami ke depan terlepas itu budidaya ataupun ekspor, yang penting legal. Kalau legal kan enak," tuturnya.

Dia kembali menjelaskan, jumlah BBL di perairan Indonesia mencapai 278,3 Miliar ekor per tahun, dan NTB salah satu wilayah yang jumlahnya paling banyak.

"Apakah berkurang yang ada di laut? Nggak. Tidak akan berkurang. 278,3 miliar BBL di laut itu tidak kami ambil akan dimakan predator, apa salahnya diambil," kata Syaiful.

Menurut Syaifullah, selain Lombok Tengah. PLBN sebelumnya sempat mengunjungi beberapa daerah di Indonesia.

Hal itu untuk turun mendengar aspirasi nelayan yang selama ini merasa terbebani oleh aturan larangan ekspor BBL ini.

"Kemarin kami sempat ke Labuhan Ratu, Banten dan sekarang ini di Lombok Tengah," sebutnya.

Dijelaskan, hasil dari silaturahmi tersebut akan dia bawa ke DPR untuk meminta agar pemerintah mengkaji ulang aturan tentang ekspor benih Lobster tersebut.

"Biar mereka (pemerintah) tahu kalau para nelayan ini jauh dari kata sejahtera," ujarnya.

Padahal kata dia, Indonesia ini memiliki sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah. Namun kondisi nelayan sampai saat ini masih memprihatinkan. 

"Itu yang harus kami sampaikan kepada pemerintah. Agar mereka tahu kondisi di bawah seperti apa," pungkasnya. (mcr38/jpnn) 


Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Edi Suryansyah

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler