TANK Leopard belakangan melejit namanya. Rencana pemerintah membeli 100 unit Tank Leopard bekas dari Belanda, yakni 50 tank tipe 2A4 dan 50 tipe 2A6, menuai kontroversi. Bukan semata soal harganya, yang untuk tipe 2A4 700.000 Euro dan tipe 2A6 menembus 2,5 juta Euro, ditambah biaya overhaull 800.000 Euro per buah.
Dalih lain dari Komisi I DPR, berat tank yang sekitar 65 ton itu tak cocok untuk manuver di wilayah geografis di Indonesia yang gembur, terpotong-potong bahkan berawa dan kurang taktis untuk sistem pertahanan pulau-pulau seperti di negeri ini.
Dari jauh sana, di negeri Belanda, sebagian besar Anggota Parlemen (Twede Kamer) juga menolak penjualan MBT Leopard ke Indonesia. Mereka mengkaitkan masalah tank ini dengan persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.
Anggota Komisi I DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Effendi Choirie, atau yang biasa disapa Gus Choi, paling keras menolak rencana itu. Apa yang menjadi dasar sikapnya itu? Berikut petikan wawancara wartawan JPNN, M. Kusdharmadi dengan Effendi Choirie di Senayan, Rabu (25/1).
Apa alasan sebenarnya penolakan itu?
TNI di dalam bekerja di dalam melakukan gelar, di dalam menentukan anggaran, di dalam mengusulkan anggaran, menentukan pilihan alusista (Alat Utama Sistem Persenjataan), itu semua harus tunduk pada otoritas sipil. Itu semua sebetulnya tidak boleh semaunya sendiri. Itu harus dilihat otoritas sipil itu siapa, yaitu Presiden bersama DPR. DPR maunya apa, presiden maunya apa. Itu satu.
Yang kedua, untuk menentukan alutsista khususnya apakah namanya Leopard, atau namanya F-16 atau namanya apa, itu juga ditentukan dari persepsi kita tentang ancaman itu apa. Jadi tidak asal beli, asal senang, asal sama dengan negara tetangga, itu tidak boleh. Di luar pemahaman demokrasi itu namanya.
Yang menentukan itu semua harus otoritas sipil. Persepsi kita tentang ancaman adalah begini, begitu, begini, begitu, baru kemudian persepsi ancaman itu disepakati antara DPR dan pemerintah. Lalu kemudian baru setelah itu kebutuhan pertahanannya seperti apa, lalu alusistanya seperti apa. Begitu. Nah, apa yang terjadi sekarang? Sekarang ini yang terjadi adalah persepsi ancaman itu yang menentukan tetap TNI, kemudian dia menentukan ancamannya sendiri, dia menentukan alusistanya sendiri, akibatnya ini selain melanggar konstitusi, melanggar prinsip demokrasi, ini juga sekaligus akibatnya adalah pertahanan kita tidak kuat, parsial tidak komprehensif. Antara kesatuan-kesatuan yang lain, persenjataannya tidak terpadu. Jadi sendiri-sendiri. Kemudian di dalam merencanakan membangun sistem pertahanan juga akhirnya parsial.
Anda kelihatan ngotot menolak?
Saya sering bergerak pada prinsip-prinsip. Kalau di Komisi, saya banyak bergerak bukan pada yang teknis, tapi prinsip-prinsip seperti ini yang harus ditaati semua pihak, ditaati Kemhan (Kementerian Pertahanan), ditaati Tentara juga pemerintah dan DPR. Nah, contoh mau beli Leopard itu adalah contoh rill bahwa selama ini pengadaan alusista itu parsial. Bahwa selama ini pembangunan kekuatan pertahanan itu parsial, sendiri-sendiri. AD sendiri, AU sendiri AL sendiri. Jadi, tidak terintegrasi. Oleh karena itu, keinginan untuk membeli Leopard ini kita pertanyakan. Kecenderungan teman-teman di komisi, mereka membeli Leopard ini tidak rasional. Terburu-buru, emosional, tidak dikoordinasikan dulu dengan Komisi I. Tidak didiskusikan dulu, mereka cepat-cepat kemudian membuat putusan sendiri, lalu lobby sendiri ke Belanda, kemudian ditolak parlemen Belanda, mereka malu sendiri karena parlemen tidak diajak bicara, akhirnya parlemennya juga menolak. Akhirnya Tentara AD terdesak, DPR di sini kurang mendukung DPR Belanda menolak. Kalau pemerintah sana ditolak sama DPR -nya, pemerintah sini ditolak sama DPR-nya, lalu uangnya dari mana? Itukan. Jadi dia sendiri yang rugi akibat dari tidak adanya komunikasi proses penjelasan secara rasional.
Apa karena tank bekas?
Paradigma TNI kita selama ini bukan paradigma membeli produk baru. Dia ketika ada yang nawari, kemudian membeli. Meskipun, itu barang bekas. Untuk (kepentingan) negara beli barang bekas, paradigma ini harus ditinggalkan. Selama ini mereka punya paradigma membeli barang bekas. Misal dulu kapal bekas Jerman, F-16 bekas, Sukhoi tidak bekas, Saya heran juga, mengapa berpikirnya mereka itu berpikir membeli sesuatu yang bekas.
Juga karena spesifikasi tak cocok untuk kita?
Berikutnya lagi yang dibeli itu relevan untuk pertahanan kita? Cocoknya hidup digerakkan digunakan di negara kita? Iya kan? Siap nggak? Misal kayak Leopard. Menurut ahli Leopard itu beratnya mencapai 65 ton, bensin sekian ton, lebarnya empat meter. Kemudian kalau dari sini pindah dari pulau ke pulau yang lain, ini juga problem pakai angkut apa? Belum ada kapal kita atau pesawat kita yang bisa angkut. Begitu kan? Itu nanti tempatnya dimana, di luar Jawa apa di Jawa? Di luar Jawa dimana tempatnya apa sudah tersedia? Kalau di Jawa, menghadapi siapa di Jawa? Jangan-jangan menghadapi mahasiswa ketika demo? Begitu kan? Jangan asal beli, jangan asal ada tawaran kemudian langsung beli. Jangan-jangan di balik ini semua juga ada markus? Ada makelar-makelar yang meyakinkan kepada AD supaya memeroleh keuntungan besar, Fee untuk pribadinya, fee untuk kelompoknya, fee untuk para jenderal?
Anda mencium bau permainan makelar?
Ya kita tidak tahu. Tapi, pertanyaan-pertanyaan itukan muncul. Nah, semua ini supaya clear maka harus diberikan penjelasan secara rasional. Bukan persepsinya itu yang penting sama dengan Malaysia. Kan ada argumen dari Kepala Staf Angkatan Darat itu, kita juga punya, kita juga harus sama dengan (Malaysia). Bukan itu pikiran kita. Kita tidak sama, kita kita harus lebih tinggi ketimbang Malaysia. Kita negara besar, kenapa pikiran kita hanya sekedar sama dengan Malaysia?. Kita harus lebih dari Malaysia. Gitu loh. Untuk lebih, jangan beli hal yang sama. Juga jangan beli yang bekas, karena Malaysia beli baru. Nah dialog seperti ini belum terjadi.
Lalu apa solusinya?
Nah oleh karena itu, sebelum ini semua diputus dan ini semua demi kepentingan negara saya yakinlah KSAD itu untuk kepentingan negara. Cuma pikirannya itu perlu diuji oleh DPR yang ikut menentukan. Karena itu, perlu ada forum khusus dengan KSAD untuk menjelaskan ini didampingi atase pertahanan kita yang ada di Belanda, di Inggris, Jerman, Perancis, pulang mereka mendampingi KSAD itu untuk menjelaskan rasional atau tidak, cocok atau tidak, relevan atau tidak untuk pertahanan kita. Disitulah baru kita tentukan kita tolak atau lanjutkan.
Soal pertemuan Komisi I dengan Kemenhan kemarin bagaimana?
Tidak ada (keputusan). Kalau ini belum diputuskan. Ini memang belum.
Tank bekas dari negara bekas penjajah ada dampak psikologisnya buat Indonesia?
Sebenarnya banyak orang yang sudah melupakan tentang Belanda. Tapi, Belanda juga tidak boleh semena-mena terhadap kita. Kita sekarang sejajar bahkan saya kira kita lebih hebat ketimbang Belanda.
Kalau soal parlemen Belanda menolak karena dikaitkan HAM?
Kalau soal pelanggaran HAM, Belanda itu super pelanggar HAM. Kalau itu, alasan mereka saja. Bukan itu persoalannya. Bukan kita ini melanggar. Kalau soal melanggar, dia (Belanda) yang lebih melanggar ketimbang kita. Persoalannya itu relevan atau tidak untuk pertahanan kita! (**)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bisa Tidur jika Minum Obat Tidur
Redaktur : Tim Redaksi