JAKARTA - Ekonom Dradjad H Wibowo menilai konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang berlebihan sudah mulai membahayakan stabilitas ekonomi Indonesia. Hal itu membuat impor migas menjadi tidak terkendali, sementara kemampuan produksi Indonesia terus merosot karena berbagai kesalahan kebijakan.
Dradjad mengatakan, melonjaknya subsidi BBM juga berefek pada neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan dan cadangan devisa Indonesia yang cenderung menurun. "Semua hal itu sudah menggoyang rupiah. Hanya karena intervensi Bank Indonesia saja rupiah masih melemah terkendali," ujar Dradjad di Jakarta, Selasa (30/4).
Jika nilai rupiah anjlok melewati Rp 10 ribu per dolar Amerika Serikat, kata Dradjad, hal itu akan berpengaruh terhadap pihak swasta karena terancam tidak mampu membayar hutang. Ketika swasta tak mampu lagi membayar hutang ke pihak asing, lanjutnya, maka hal akan mengancam perekonomian Indonesia.
Dradjad menambahkan, kondisi konsumsi BBM subsidi berlebih bisa membawa perekonomian Indonesia seperti pada masa krisis 1997-1998, meskipun skalanya akan lebih kecil. "Jadi memang dari sisi ekonomi, kondisinya tidak main-main," terang Dradjad.
Namun menurut ekonom yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PAN ini, menaikkan harga BBM bersubsidi yang diikuti kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) bukan solusi yang terbaik secara ekonomi dan politik. Menurutnya, lebih tepat jika pemerintah tidak memberikan subsidi BBM ke kalangan mampu dan berada.
"Saya menyarankan, cabut subsidi dan kurangi konsumsi BBM bersubsidi dari orang kaya saja. Caranya bisa melalui cukai, melalui kenaikan harga tidak langsung atau bisa juga melalui kombinasi dengan teknologi informasi, yang mirip voucher pulsa handphone," katanya.
Mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu menilai pemberian BLT yang diklaim pemerintah untuk menolong rakyat miskin, ternyata terbukti tidak efektif di lapangan. "BLT akhirnya hanya menjadi alat politik," pungkasnya. (gil/jpnn)
Dradjad mengatakan, melonjaknya subsidi BBM juga berefek pada neraca perdagangan, neraca transaksi berjalan dan cadangan devisa Indonesia yang cenderung menurun. "Semua hal itu sudah menggoyang rupiah. Hanya karena intervensi Bank Indonesia saja rupiah masih melemah terkendali," ujar Dradjad di Jakarta, Selasa (30/4).
Jika nilai rupiah anjlok melewati Rp 10 ribu per dolar Amerika Serikat, kata Dradjad, hal itu akan berpengaruh terhadap pihak swasta karena terancam tidak mampu membayar hutang. Ketika swasta tak mampu lagi membayar hutang ke pihak asing, lanjutnya, maka hal akan mengancam perekonomian Indonesia.
Dradjad menambahkan, kondisi konsumsi BBM subsidi berlebih bisa membawa perekonomian Indonesia seperti pada masa krisis 1997-1998, meskipun skalanya akan lebih kecil. "Jadi memang dari sisi ekonomi, kondisinya tidak main-main," terang Dradjad.
Namun menurut ekonom yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PAN ini, menaikkan harga BBM bersubsidi yang diikuti kompensasi berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) bukan solusi yang terbaik secara ekonomi dan politik. Menurutnya, lebih tepat jika pemerintah tidak memberikan subsidi BBM ke kalangan mampu dan berada.
"Saya menyarankan, cabut subsidi dan kurangi konsumsi BBM bersubsidi dari orang kaya saja. Caranya bisa melalui cukai, melalui kenaikan harga tidak langsung atau bisa juga melalui kombinasi dengan teknologi informasi, yang mirip voucher pulsa handphone," katanya.
Mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu menilai pemberian BLT yang diklaim pemerintah untuk menolong rakyat miskin, ternyata terbukti tidak efektif di lapangan. "BLT akhirnya hanya menjadi alat politik," pungkasnya. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BLT Dinilai Gagal Tekan Kemiskinan
Redaktur : Tim Redaksi