jpnn.com - JPNN.com JAKARTA - Kejaksaan Agung diingatkan untuk bersikap profesional dalam menangani dugaan penyimpangan pajak Mobile 8. Penyidik tidak boleh berbuat sewenang-wenang dalam menangani kasus.
Permintaan ini disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan yang merespons ada dugaan prilaku jaksa yang sudah di luar batas seperti dengan memeriksa saksi yang tidak berkaitan.
BACA JUGA: Toyota Bakal Tanamkan Rp 5,4 Triliun di Indonesia
"Itu bukan terjadi bukan hanya di kasus Mobile 8 saja, sering terjadi juga dilakukan kejaksaan dan polisi,” ungkap Agustinus, saat dihubungi wartawan, Rabu (17/2).
Banyak pihak menilai, kasus Mobile8 lebih bernuansa politis ketimbang penegakan hukum. Sekadar mengingatkan, Jaksa Agung Prasetyo yang berasal dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Hary Tanoesoedibyo sebagai pendiri Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dulunya adalah sekondan Surya Paloh, pendiri Partai Nasdem. Apalagi dalam survei terakhir yang dilakukan CSIS, peringkat Perindo sudah mengungguli Nasdem.
BACA JUGA: 2 Desa di Tapteng Tak Lagi Gelap Gulita
Pengamat Hukum Martin Pongrekun menilai, lantaran ada nuansa politis yang kuat membuat penyidikan restitusi pajak Mobile 8 terkesan dipaksakan, Menurutnya, jika sudah ada ketetapan dari Ditjen Pajak bahwa restitusi pajak Mobile 8 tidak bermasalah, maka fakta itu yang harus dipakai oleh kejaksaan.
"Kalau sudah ada ketetapan dari Ditjen Pajak, ya, sudah tidak usah dipermasalahkan. Ditjen Pajak lah yang berwenang menentukan bermasalah atau tidak," tegas Martin saat dihubungi wartawan, Kamis (18/2).
BACA JUGA: Menperin Desak Toyota Tingkatkan Produksi Mobil di Indonesia
Justru, jika memang restitusi dipermasalahkan, maka harus ditanya juga Dirjen Pajak yang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKP-LB). Martin menjelaskan setiap wajib pajak berhak mengajukan restitusi. Dan soal restitusi ini, tidak hanya satu dua perusahaan saja yang mengajukan. Itu belum lagi ada restitusi bea. “Jadi harus dilihat juga masalah di restitusi yang lain,” imbuhnya.
Sebelumnya, pengamat perpajakan Yustinus Prastowo yang juga direktur eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai, dalam kasus Mobile 8, jaksa tidak memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan.
“Kasus seperti Mobile 8 tidak bisa dimasukkan dalam domain kasus korupsi,” terang Yustinus kepada wartawan, beberapa waktu lalu.
Kedua, kalau pun masalah restitusi ini dikembalikan ke Direktorat Jenderal Pajak dan kemudian diduga ada indikasi pidana, proses penyidikannya pun bertahap. Sementara untuk restitusi pajak Mobile 8, Ditjen Pajak menilai sudah tidak ada masalah.
Dari dokumen yang diperoleh wartawan, Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa (KPP PMB) telah memeriksa komprehensif restitusi pajak yang diajukan Mobile 8. Hasil pemeriksaan itu dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKP-LB), Pajak Penghasilan yang diteken oleh Kepala KPP PMB.
Dalam SKP LB bernomor 00059/406/07/054/09 Tahun 2007 Tanggal Penerbitan 13 Maret 2009 ditetapkan jumlah PPh Mobile 8 yang lebih bayar senilai Rp 12.239.025.011.
Kemudian, Mobile-8 juga menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP-KB) Pajak Penghasilan pasal 21, 23, 4 ayat 2 dan 26 dengan jumlah Rp 1.490.868.666. Dengan demikian, pengembalian bersih atas lebih bayar tersebut sebesar Rp 10.748.156.345.
Selain itu, Mobile-8 juga menerima SKP Kurang Bayar (SKP-KB) Pajak Penghasilan pasal 21, dan 26 dengan jumlah Rp 10.373.785.873, sehingga tidak ada pengembalian atas lebih bayar tersebut.
Dua SKP itupun hingga 8 Januari 2016 tidak ada koreksi sehingga SKP-LB tersebut dianggap sudah benar adanya.
Berdasarkan Penjelasan pasal 8 ayat 1 (a) UU nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, jika dalam 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak tidak ada koreksi dari Direktorat Pajak, maka Surat Pemberitahuan Pajak dianggap benar.
Secara teknis, Yustinus menjelaskan, jika ada kasus pidana dalam perpajakan, PPNS pun harus melakukan pemeriksaan awal lebih dulu. Semacam pengumpulan bukti awal dalam proses penyelidikan tindak pidana di kepolisian atau kejaksaan.
Nah, seandainya ditemukan bukti permulaan yang cukup, pembayar pajak juga masih diberi kesempatan untuk membayar denda administrasi. “ Pajak, kan, prioritas di penerimaan negara, saya kira harus ditempatkan dahulu di Ditjen pajak," tegasnya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Lion Air Bekali Karyawan untuk Cegah Oknum Nakal
Redaktur : Tim Redaksi