Dalam Tiga Tahun, LPSK Terima Permohonan Perlindungan 45 Korban Penyiksaan

Kamis, 02 Juli 2020 – 18:37 WIB
LPSK. Foto: dok jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima sebanyak 45 permohonan perlindungan korban kasus penyiksaan, yang berasal dari sejumlah kasus di 10 provinsi dalam tiga tahun terakhir.

"Dari 45 kasus penyiksaan yang perlindungannya dimohonkan ke LPSK, pelakunya dari oknum TNI sebanyak 39 orang, Polri 20 orang, dan 5 petugas pemasyarakatan. Untuk satu kasus, pelakunya bisa lebih dari satu orang," kata Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution dalam diskusi daring "LPSK Bicara: Mengenal Penyiksaan dan Perlindungan terhadap Korban", yang disiarkan melalui akun media sosial LPSK, Kamis (2/7).

BACA JUGA: Update Corona 2 Juli: Pertambahan Kasus Positif Covid-19 Menggila

Dia menjelaskan, berbeda dengan penganiayaan atau kekerasan, kasus penyiksaan lebih berorientasi kepada pelaku yang merupakan pejabat publik terhadap orang dalam pengawasannya.

Oleh karena itu, kata dia, perspektif pejabat publik yang memiliki relasi kuasa atas orang dalam pengawasannya menjadi sangat penting. Pada kasus penyiksaan, edukasi terhadap masyarakat sebagai korban juga penting.

BACA JUGA: Update Corona 2 Juli: Pertambahan Pasien Sembuh Mencetak Rekor Tertinggi

Maneger mengatakan ada dua faktor penting yang mempengaruhi proses pengungkapan kasus penyiksaan di Indonesia.

Pertama, ketakutan korban melaporkan peristiwa penyiksaan yang dialami karena pelaku adalah pejabat publik. Kedua, ketidakpercayaan korban terhadap proses hukum atas laporan penyiksaan yang disampaikan.

BACA JUGA: Update Corona 2 Juli: Ini Provinsi dengan Persentase Kesembuhan Tertinggi

Dia mengatakan ketakutan korban melaporkan penyiksaan yang dialami, karena adanya latar belakang penyiksaan yang diduga dilakukan pejabat publik dan/atau lokasi kejadian berada di dalam bangunan atau wilayah institusi tertentu.

“Akan sangat sulit mencari saksi yang mau memberikan keterangan atas peristiwa penyiksaan dimaksud,” ujarnya.

Kalaupun korban melaporkan peristiwa penyiksaan yang dialami, kata Maneger, ada ketidakpercayaan dari korban jika laporannya itu akan diproses hukum.

Jika ada korban yang berani melaporkan penyiksaan yang dialami, mereka ragu laporan akan diproses, karena proses hukum atas laporan itu biasanya dilakukan secara internal oleh institusi pejabat publik tersebut.

Maneger berpendapat ketakutan melapor atau ketidakpercayaan akan proses hukum, seharusnya bisa dikikis. Apalagi, negara sudah membentuk LPSK yang tugasnya memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan/atau korban, termasuk pada tindak penyiksaan.

“Apalagi, penyiksaan merupakan salah satu tindak pidana prioritas di LPSK,” kata dia.

Maneger mengatakan kehadiran LPSK secara filosofis untuk membangkitkan keberanian dan kepedulian masyarakat sipil melaporkan suatu tindak pidana yang dialami atau diketahui.

Pada diskusi daring itu, Maneger juga menyoroti urgensi perlindungan saksi dan korban dimasukkan dalam kurikulum perguruan tinggi.

“Khususnya di Fakultas Hukum, karena semua penegak hukum, sebagian besar belajar dan merupakan lulusan Fakultas Hukum,” ucap dia. (antara/jpnn)


Redaktur & Reporter : Fajar W Hermawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler