WASHINGT0N – Setelah lebih dari 10 tahun atau satu dekade berlalu, tragedi serangan atau teror 11 September 2001 di Amerika Serikat (AS) yang lebih populer disebut dengan 9/11 bakal masuk ke ranah peradilan. Pemerintah AS Rabu lalu (4/4) atau kemarin WIB (5/4) menyatakan bahwa lima tersangka teror yang merenggut nyawa 2.976 orang di AS tersebut bakal disidangkan dalam waktu dekat.
Seorang pejabat Pentagon (Departemen Pertahanan atau Dephan) mengungkapkan bahwa para tersangka itu secara resmi telah dikenai dakwaan. Mereka adalah Khalid Sheikh Mohammed yang didakwa sebagai dalang atau otak serta perancang skenario serangan terorisme. Empat tersangka yang lain didakwa terlibat dalam perencanaan teror. Yakni, Welid Muhammad Salih Mubarak Bin ’Attash, Ramzi Binalshibh, Ali Abdul Aziz Ali, serta Mustafa Ahmed Adam al-Hawsawi.
’’Jika nanti terbukti bersalah, kelimanya bisa dijatuhi hukuman mati,’’ kata Pentagon dalam pernyataan resminya kemarin.
Dalam dakwaan tersebut, disebutkan bahwa kelimanya bertanggung jawab dalam merencanakan dan mengeksekusi serangan di New York, Washington D.C, serta Shankville, Pennsylvania sehingga mengakibatkan 2.976 orang tewas.
Mereka didakwa melakukan aksi terorisme, membajak pesawat, konspirasi, pembunuhan dan pelanggaran hukum perang, menyerang warga sipil, menyerang objek sipil, melukai orang lain, dan merusak properti. Otoritas terkait di AS menyatakan bahwa semua dakwaan akan diproses dalam persidangan gabungan.
Sidang gabungan, yang bisa memakan waktu berbulan-bulan itu, akan dilaksanakan di Pangkalan Angkatan Laut AS di Teluk Guantanamo, Kuba. Di tempat itu pemerintah AS sebelumnya telah membentuk komisi militer khusus untuk mengadili para tersangka aksi terorisme.
Pentagon mengungkapkan bahwa Kantor Komisi Militer atau Komisi Militer Guantanamo (peradilan khusus militer) telah menyerahkan berkas dakwaan tersebut kepada Komisi Militer Pusat. Komisi Militer Guantanamo dibentuk lewat UU Komisi Militer 2006 untuk menuntut dan mengadili para tahanan terorisme di penjara Teluk Guantanamo.
’’Masing-masi ng tersangka akan didampingi pengacara dan diberitahu kasus mereka dengan ancaman hukuman mati. Itu dilakukan untuk membantu mereka melakukan pembelaan,’’ papar Pentagon.
Lalu, kepala Military Commissions Trial Judiciary akan menunjuk dan menugaskan seorang hakim militer untuk menyidangkan kasus tersebut. Selanjutnya, lima tersangka akan disidangkan di Pangkalan Guantanamo dalam 30 hari setelah dakwaan resmi diajukan kepada mereka.
Pengumuman itu merupakan perumusan ulang terhadap dakwaan sebagai konspirator yang dijeratkan kepada lima tersangka itu. Awalnya, militer AS mendakwa Mohammed pada 2008. Namun, Presiden Barack Obama menghentikan kasus tersebut sebagai bagian dari upayanya untuk menutup penjara di Teluk Guantanamo.
Tak mampu menutup penjara tersebut, Obama berusaha mengalihkan kasus itu ke pengadilan federal di New York pada 2009. Tetapi, rencana tersebut batal setelah menuai kritik terkait dengan masalah biaya dan keamanan.
April tahun lalu, Jaksa Agung AS Eric Holder juga telah mengumumkan bahwa lima tersangka 9/11 akan diadili di pengadilan militer Teluk Guantanamo.
Sementara itu, Gedung Putih menyambut positif kabar mengenai rencana persidangan para tersangka terror 9/11 dalam waktu dekat. ’’Lebih dari satu decade setelah teror yang mengguncang psikologi rakyat Amerika, jelas penting bisa mengetahui bahwa keadilan segera ditegakkan,’’ tutur Jubir Gedung Putih Jay Carney kemarin.
Dalam kesempatan itu, Carney juga menegaskan bahwa Presiden Obama masih berkomitmen untuk mewujudkan janjinya guna menutup penjara di Teluk Guantanamo. Hal itu akan dilakukan setelah terjadi kemunduran hukum dan ada penolakan yang kuat di kalangan Kongres AS. Tetapi, dia tidak menyinggung soal jadwal waktu penutupan.
Secara terpisah, Serikat Kebebasan Hak Sipil Amerika (The American Civil Liberties Union atau ACLU) menolak rencana pengadilan militer itu. Mereka beralasan bahwa apapun yang diputuskan pengadilan militer tersebut tidak akan bisa dilihat sebagai putusan sah. ’’Itu bukan sebuah keadilan,’’ terang lembaga tersebut.
Direktur Eksekutif ACLU Anthony D. Romero menilai pemerintah AS telah melakukan kesalahan fatal dengan mengadili kasus terorisme terpenting sepanjang sejarah itu dengan menggunakan sistem pengadilan lapis kedua di AS. ’’Vonis yang keluar dari pengadilan militer di Guantanamo akan dicederai dengan proses tidak adil serta politik yang salah menarik kasus itu dari pengadilan federal. Padahal, pengadilan federal telah terbukti berhasil menyelesaikan ratusan kasus terorisme dengan baik,’’ terangnya.
’’Pengadilan militer dirancang untuk mengadili kasus-kasus ringan dan menyembunyikan dakwaan sebenarnya, bukan untuk mendapatkan pengadilan yang seadil-adilnya. Meski aturan mainnya telah banyak berubah, pengadilan militer tetap melanggar proses pengadilan yang sebenarnya dengan tetap mengizinkan penggunaan bukti rahasia atau kesaksian sumir atau yang dipaksakan,’’ paparnya.
Tragedi 9/11 disebut sebagai serangan terorisme terbesar terhadap Amerika Serikat. Ketika itu, 19 anggota kelompok militan Al Qaeda membajak empat pesawat jet penumpang. Lalu, mereka sengaja menabrakkan dua pesawat ke menara kembar World Trade Center (WTC) di New York. Selain itu, pembajak menabrakkan sebuah pesawat ke Pentagon dan satu pesawat lainnya jatuh di Shanksville. (CNN/AFP/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 200 Pasukan Amerika Tiba di Australia
Redaktur : Tim Redaksi