jpnn.com, JAKARTA - Perang memerlukan pembenaran. Sebuah negara yang menggunakan kekuatan militernya untuk memerangi negara lain harus memiliki alasan yang tepat dan dapat dibenarkan, setidaknya menurut etika dan moral.
Ketika dunia dikejutkan oleh agresi Rusia di Ukraina pada 24 Februari lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa tujuan dari "operasi militer khusus" tersebut salah satunya adalah untuk melakukan denazifikasi negara tetangganya itu.
BACA JUGA: Vladimir Putin Dituding Incar Sejumlah Negara ini Selain Ukraina
"Tujuan dari operasi ini adalah untuk melindungi orang-orang yang selama delapan tahun (hingga) kini telah menghadapi penghinaan dan genosida yang dilakukan oleh rezim Kiev," kata dia, seperti dikutip dalam sebuah utas di Twitter dari Misi Rusia di Jenewa.
"Untuk tujuan ini, kami akan berusaha untuk melakukan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina, serta mengadili mereka yang melakukan banyak kejahatan berdarah terhadap warga sipil, termasuk terhadap warga Federasi Rusia," katanya.
BACA JUGA: 7 Miliarder Rusia Ini Dihajar Sanksi AS: Ada Master Judo dan Koki Putin
Perang Rusia-Ukraina sudah berlangsung selama lebih dari 10 hari dan pemimpin Kremlin itu masih menjadikan denazifikasi sebagai just cause (penyebab yang dianggap benar) untuk melancarkan aksinya.
Pada Sabtu (5/3), Putin menegaskan lagi bahwa tujuannya adalah untuk membela komunitas berbahasa Rusia di Ukraina lewat "demiliterisasi dan denazifikasi" sehingga negara itu menjadi netral dan tidak lagi jadi ancaman bagi Rusia.
BACA JUGA: Oligarki Rusia Dipreteli, Inggris: Kroni Putin Tak Punya Tempat Sembunyi
Sebelumnya pekan lalu, Kementerian Luar Negeri Rusia mencuit di Twitter bahwa "kolega Barat kami telah melindungi rezim Ukraina dan menutup mata pada kejahatan perang terhadap warga sipil" dan "mereka mendorong munculnya neo-Nazisme dan Russophobia" (anti Rusia) sehingga agresi itu terjadi.
Denazifikasi dipakai oleh Sekutu, termasuk Uni Soviet, untuk "membersihkan" tokoh-tokoh Nazi setelah Jerman, Jepang dan Italia menyerah dalam Perang Dunia Kedua (1939-1945).
Dengan menyebut "denazifikasi", sepertinya Putin ingin mengingatkan bahwa apa yang dilakukannya terhadap Ukraina sama seperti yang dilakukan oleh Sekutu ketika menduduki Jerman.
Adakah Nazi di Ukraina?
Ukraina dan negara-negara Barat, termasuk sejumlah pengamat, menganggap denazifikasi sebagai alasan yang absurd dan tak berdasar untuk menyerang Ukraina.
"Anda tak bisa melakukan denazifikasi jika tidak ada Nazi," kata Timothy Snyder, seorang pakar sejarah Ukraina, seperti dikutip sebuah majalah AS, Kamis (6/3).
Alasan denazifikasi juga berada di luar konteks jika tujuan "perang Putin" adalah untuk menggulingkan pemerintah Ukraina.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy adalah keturunan Yahudi, kaum yang menjadi sasaran Nazi dalam pembersihan etnis dan genosida dalam Perang Dunia Kedua.
Dengan kata lain, Zelenskiy –dan juga generasi pendahulunya yang tewas dalam Holocaust– tidak termasuk sebagai "pelaku" tapi lebih tepat digolongkan sebagai "korban" Nazi.
Sebuah opini di media terkemuka AS mengatakan bahwa meski tuduhan Rusia lebih bersifat propaganda, Ukraina sejak dulu memang punya "masalah" dengan Nazi. Sejarah anti semit di Ukraina tak bisa disangkal, katanya.
Laman Museum Nasional Perang Dunia Kedua di New Orleans, AS, menuliskan bahwa satu dari empat korban tewas dalam Holocaust (pembunuhan massal Yahudi di Eropa pada 1941-1945) terbunuh di Ukraina ketika negara itu masih jadi bagian dari Uni Soviet dan diinvasi oleh Nazi Jerman.
Saat ini jumlah etnis Yahudi di Ukraina diperkirakan sekitar 56.000-140.000 orang dan mereka menikmati kebebasan dan dilindungi oleh pemerintah.
Sepekan sebelum agresi Rusia itu, pemerintah Ukraina mengamandemen sebuah undang-undang untuk mencegah berbagai tindak kejahatan antisemit, termasuk aksi vandalisme. Pada 25 November 2019, patung-patung penulis Yahudi Sholem Aleichem di ibu kota Kiev digambari oleh orang tak dikenal dengan swastika, simbol Nazi.
Ironisnya, Ukraina juga mendirikan sejumlah monumen untuk mengenang tokoh-tokoh nasionalis, termasuk Stepan Bandera, yang reputasinya ternoda oleh sebutan "perantara Nazi".
Pada hari ketiga invasi, Putin mengatakan lewat akun Twitter Kemlu Rusia bahwa para "banderit" (pengikut Bandera) dan neo-Nazi menggunakan orang-orang Ukraina sebagai tameng di Kiev dan Kharkiv.
"Neo-Nazi" yang dimaksud oleh Putin sepertinya adalah Gerakan Azov, kelompok sayap kanan ultranasionalis yang memiliki unit militer.
Batalion Azov, nama unit militer itu, naik daun sejak aneksasi Rusia di Krimea pada 2014 karena ikut bertempur melawan pemberontak anti pemerintah. Pasukan Azov kini sudah menjadi bagian dari Garda Nasional dan bertempur bersama pasukan Ukraina melawan tentara Rusia.
Meski kelompok neo-Nazi mengalami kebangkitan, tapi pengaruh mereka dalam percaturan politik Ukraina sebetulnya masih terbatas.
Partai Svoboda hanya meraih 2,15 persen suara pada pemilihan parlemen 2019, jauh lebih kecil dari raihan partai Zelenskiy, Servant of the People, yang mencapai 43.16 persen.
Benar, neo-Nazi memang ada di Ukraina, tapi itu bukan alasan kuat untuk menyerang Ukraina.
Adakah genosida di Ukraina?
Selain tuduhan soal Nazi, pernyataan Putin tentang genosida di Ukraina juga dinilai absurd dan mengada-ada.
Korban genosida yang disebut Putin menimpa masyarakat "berbahasa Rusia" adalah kelompok separatis dukungan Moskow yang menguasai sebagian wilayah Donbass di Ukraina bagian timur.
Sejak konflik di wilayah itu berkecamuk delapan tahun lalu, lebih dari 13.000 orang dilaporkan tewas, sekitar 3.000 di antaranya adalah warga sipil.
Laporan-laporan independen memastikan bahwa kedua pihak yang bertikai di sana sama-sama melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, termasuk menahan secara sewenang-wenang dan menyiksa tahanan.
Namun kekerasan dalam konflik itu dinilai masih terbatas dan bukan termasuk genosida seperti yang disebut dalam Konvensi Genosida PBB 1948.
Jika benar terjadi genosida di Donbass, warga sipil yang tewas dalam konflik itu jumlahnya pasti meningkat. Faktanya, korban jiwa dari kalangan sipil menurun dari 2.084 orang pada 2014 menjadi 18 pada 2021.
Jadi, alasan Putin memerangi Ukraina jelas bukan karena genosida.
Bukan Putin yang Dulu
Absurditas pemimpin negara dengan 6.000 hulu ledak nuklir itu mengundang spekulasi tentang stabilitas kejiwaannya.
Pengalaman Presiden Prancis Emmanuel Macron mungkin bisa jadi rujukan. Pada musim panas 2018, Putin berkunjung ke rumah peristirahatan Macron di pantai Mediterania.
Dia turun dari helikopter sambil membawa seikat bunga, memuji kulit Macron dan istrinya yang cokelat.
Empat tahun kemudian ketika bertemu lagi di Moskow, mereka berbicara selama lima jam sambil duduk berseberangan di ujung sebuah meja sepanjang enam meter.
Itu bukan Putin yang sama, kata Macron. Dia "lebih kaku, lebih terisolasi" dan mengalami "pergeseran ideologi".
Presiden Ceko Milos Zeman, seorang pendukung setia Putin, mencela pemimpin Kremlin itu sebagai "orang gila" setelah memerintahkan serangan ke Ukraina.
Ketika Putin meminta "pasukan penangkal" (baca: nuklir) Rusia untuk disiagakan penuh, semakin banyak kalangan yang meragukan kondisi kejiwaannya.
"Saya tak akan menilai stabilitas mentalnya, tapi saya akan memberi tahu Anda… Retorika, tindakan, pembenaran yang dia buat atas tindakannya tentu sangat memprihatinkan kami," kata sekretaris pers Gedung Putih Jen Psaki tentang Putin saat wawancara di televisi pekan lalu.
Namun, Perdana Menteri Australia Scott Morrison tidak percaya dengan spekulasi bahwa Putin, yang disebutnya seorang otokrat, sudah kehilangan akal sehat.
"Kita harus paham bahwa otokrat tidak bertindak dengan aturan yang sama dengan kita," kata dia, Senin (7/3).
Terlepas dari opini dan analisis tentang kejiwaan Putin, dunia kini menebak-nebak apa yang akan dia lakukan selanjutnya.
Mengingat pertempuran masih terjadi dan tak secepat yang diperkirakan sebelumnya, banyak kalangan menilai bahwa perang Rusia-Ukraina bakal berlangsung lama.
Jika itu yang terjadi, kita berharap konflik tersebut tidak menyeret negara-negara lain, terutama di belahan Barat, yang dapat mengancam perdamaian dunia. (ant/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil