Dana Masih Urunan, Berani Impikan Kapal Perpustakaan

Senin, 28 Oktober 2013 – 06:32 WIB
FAKTOR PENDIDIKAN: Meski penghasilan nelayan suku Bajo Sampela lumayan banyak, mereka tetap miskin. Mereka tidak bisa mengelola penghasilan dengan baik. Foto: Jawa Pos/JPNN

MASIH banyak anak yang tinggal di pulau-pulau pelosok Indonesia yang belum merasakan fasilitas pendidikan layak seperti teman-temannya di kota besar Pulau Jawa. Kenyataan itu memanggil beberapa pemuda untuk beraksi dengan membentuk komunitas Sahabat Pulau.
 
DODY BAYU PRASETYO, Jakarta
 
SEBAGAI negara kepulauan, Indonesia dikaruniai jumlah pulau di wilayahnya yang mencapai puluhan ribu. Karena itu, meskipun pemerintah mengucurkan dana APBN terbesar ke sektor pendidikan, masih ada saja penduduk di ratusan pulau yang belum memiliki sarana dan tenaga pengajar memadai.
 
Salah satunya Pulau Pahawang, Lampung, yang sebetulnya hanya terpisah Selat Sunda dari pusat pemerintahan di Jakarta. Menurut Hendriyadi, 24, minimnya sarana dan pengajar membuat pengetahuan siswa SD di Pulau Pahawang sangat kurang. "Saat saya tanya siapa presiden Republik Indonesia sekarang, mereka masih menjawab Soeharto," kenang Hendriyadi yang mengunjungi pulau tersebut tahun lalu.
 
Kenyataan itu membuat trenyuh aktivis pendidikan tersebut dan menggerakkan hatinya untuk membentuk komunitas Sahabat Pulau. "Dengar jawaban seperti itu, saya tidak tahu harus ketawa atau sedih," ujar pemuda kelahiran 12 April 1989 tersebut.
 
Selain itu, lanjut Hendriyadi, sekolah tersebut hanya memiliki satu gedung yang difungsikan sebagai SD, SMP, dan SMA. Keadaan itu semakin diperparah dengan jumlah staf pengajar yang hanya tiga orang guru di sekolah tersebut. "Cuma ada 3 guru, 1 pegawai negeri sipil, dan 2 guru bantu. Mereka mengajar 281 siswa di semua tingkat sekaligus," papar pemuda asal Desa Salemba, Kecamatan Bulukumba, Sulawesi Selatan, itu.
 
Hendriyadi menambahkan bahwa keterbatasan sarana dan staf pengajar di sekolah tersebut mengakibatkan kurikulum tidak berjalan sempurna. "Jadi, kurikulumnya berjalan apa adanya. Guru di sana sekadar mengajar baca dan menulis kepada siswanya. Karena buku kurikulum yang ada masih terbitan 1990-an," imbuhnya.
 
Kondisi serupa terjadi di Pulau Selayar di Sulawesi Selatan. Pelajar di sana lebih mengenal orang dekat daripada pejabat negara. "Mereka lebih mengenal Kak Cawi (salah seorang sukarelawan, Red) karena juga mengajar ibu-ibu membuat abon daripada bupatinya. Mereka don"t care. Bupatinya sendiri juga tidak pernah ke lapangan," tambahnya.
 
Hendriyadi mengatakan, masih banyak kisah lain dari anak-anak di daerah yang belum terjamah fasilitas pendidikan yang memadai. Contohnya yang ada di Bulukumba, Maros, Sidrap, Pinrang, Enrekang, dan Pare-Pare yang semuanya ada di Sulawesi Selatan. "Kebanyakan dari adik-adik itu masih menggunakan sandal ke sekolah karena sepatu masih menjadi barang yang mahal di sana," ungkapnya prihatin.
 
"Dari sana kita melihat ada kesamaan, yaitu kurangnya akses pendidikan di daerah-daerah tersebut. Selain itu sulitnya lokasi tersebut. Jangan salahkan pemerintah terus. Ini sudah menjadi tugas bersama," tuturnya.
 
Namun, Hendriyadi mengaku kagum dengan anak-anak di daerah terpencil itu. Pasalnya, meski tidak memperoleh pendidikan yang layak, semangat mereka untuk belajar ternyata sangat tinggi. "Contohnya anak-anak dari Pulau Pahawang, Lampung, itu. Saya minta kumpul di sekolah pukul 8 pagi, tapi pukul 05.30 WIB mereka sudah kumpul," katanya terheran-heran.
 
Selain itu, Hendriyadi kagum dengan siswa yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi sekolah, namun tetap bersemangat mengikuti proses belajar mengajar di sekolah. Padahal, tidak jarang ada siswa yang harus menempuh medan berat, ditambah minimnya sarana transportasi menuju sekolahnya. "Jarak rumah mereka ke sekolah ada yang lebih dari 5 kilometer, ditempuh dengan jalan kaki, jadi pergi pulang sudah 10 kilometer. Ada juga yang melewati sungai," kata Hendriyadi mencoba menggambarkan sulitnya medan yang ditempuh para pelajar di daerah pedalaman.
 
Karena itu, melalui Sahabat Pulau yang berdiri sejak 25 Maret 2012, dia bersama para sukarelawan pengajar lainnya dari berbagai daerah berusaha memberikan bantuan pendidikan bagi anak-anak yang belum tersentuh nikmatnya belajar dengan fasilitas memadai tersebut. Salah satunya dengan mengumpulkan buku-buku pelajaran yang nanti menjadi sebuah perpustakaan, Rumah Baca Harapan (Rubah), yang akan ditempatkan di sekolah-sekolah yang membutuhkan bantuan."
 
Namun, sebagai sebuah komunitas yang baru berdiri, Hendriyadi mengakui bahwa Sahabat Pulau belum punya dana yang cukup untuk menyediakan buku perpustakaan di sekolah-sekolah yang kurang beruntung tersebut. Tapi, keterbatasan itu tidak membuyarkan niatnya untuk turut membangun pendidikan di daerah terpencil. "Kami ini murni dari pemuda dan tidak ada dana yang besar," tegasnya meyakinkan.
 
Untuk menutupi kekurangan tersebut, dia bersama sukarelawan lain mengupayakan jalan keluar guna memecahkan masalah pendanaan. Salah satunya dengan "memanfaatkan" sekolah elite di Jakarta. "Jadi, saya berpikir ide kreatif apa yang bisa dilakukan. Akhirnya dapat ide menggalang bantuan untuk mengumpulkan buku dari sekolah papan atas di Jakarta, seperti SMA 8. Jadi, tiap siswa diminta menyumbang satu buku. Kalau ada 500 siswa, artinya ada 500 buku, jadi tidak perlu beli lagi," terangnya.
 
Selain itu, tidak jarang para sukarelawan merogoh kocek sendiri untuk ikut menyumbang buku. Tidak hanya merogoh kocek, komunitas tersebut bahkan juga pernah menggelar garage sale atau bazar yang seluruh barang yang dijual berasal dari milik pribadi sukarelawan. "Baju-baju bekas layak pakai dikumpulkan, sepatu-sepatu, dan lain-lain. Kami jual lagi di kawasan Pancoran waktu itu. Akhirnya dari sana berhasil terkumpul Rp 2,5 juta. Lumayan untuk tambah uang kas," kata Hendriyadi yang pernah memperoleh beasiswa pendidikan singkat delapan minggu di Iowa State University dari pemerintah Amerika Serikat (AS).
 
Bukan hanya itu, komunitas tersebut juga pernah mengadakan sebuah kegiatan yang tiket masuknya adalah sebuah buku. "Jadi, tiap pengunjung harus bawa satu buku untuk masuk," ujarnya. Dari sumber pemasukan tersebut, akhirnya Hendriyadi dan para sukarelawan lain hingga kini berhasil menyediakan rumah baca di 15 lokasi di sembilan provinsi di seluruh Indonesia. "Hingga kini lebih dari 500 anak yang saat ini aktif membaca di rumah baca itu," katanya.
 
Lalu bagaimana membiayai kegiatan lainnya, seperti perjalanan sukarelawan ke luar pulau dan daerah terpencil yang lain" Sama seperti cara komunitas ini mengadakan buku perpustakaan, Hendriyadi mengungkapkan bahwa salah satu modal awal berdirinya Sahabat Pulau adalah bondo nekat alias modal nekat. "Kegiatan kami ini juga semacam backpacker. Karena belum punya donatur, biaya perjalanan masih ditanggung sendiri-sendiri," bebernya.
 
Hendriyadi menjelaskan bahwa komunitas yang bersekretariat di Jalan Talang 39, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, itu pernah mendapatkan tawaran donasi dari salah seorang calon presiden yang bakal maju pada 2014. Namun, dia menolak tawaran tersebut dengan alasan komunitasnya tidak ingin dipolitisasi. "Pernah ada tawaran dari capres 2014, tapi kami tolak dengan halus. Lebih baik menyumbang dengan nama hamba Allah," tutur lulusan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta 2011 itu tanpa bersedia menyebut nama capres yang dimaksud.
 
Meski demikian, jumlah peminat untuk menjadi sukarelawan tidak pernah berkurang. Mereka rata-rata merupakan mahasiswa yang ingin mencari pengalaman dan mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak yang kurang memperoleh pendidikan layak di daerah dan pulau terpencil.
 
Hendriyadi menjelaskan bahwa Sahabat Pulau sendiri memiliki program perekrutan sukarelawan sebagai pengajar anak-anak di daerah terpencil dan pulau terluar. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi sukarelawan itu. Hingga Juli tahun ini, papar dia, Sahabat Pulau telah berhasil merekrut 250 sukarelawan dari seluruh daerah di tanah air. "Siapa pun pemuda yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan di tanah air bisa bergabung," tegasnya.
 
Jadi, lanjut Hendriyadi, yang terpenting setiap sukarelawan harus dapat membagikan ilmu yang dia ketahui kepada anak-anak yang belum memperoleh pendidikan layak di daerah terpencil. "Apa pun itu bisa diajarkan. Misalnya, mahasiswa kedokteran gigi mengajar cara menggosok gigi, wartawan mengajar jurnalistik, atau fotografer mengajar fotografi," papar Hendriyadi yang pernah ikut dalam pertukaran pemuda Indonesia-Kanada pada 2009"2010.
 
Namun, sukarelawan yang bergabung tidak langsung diterjunkan ke daerah terpencil. Mereka harus terlebih dahulu mengikuti program pelatihan sukarelawan. "Pelatihan ini bertujuan menyamakan persepsi tentang sukarelawan itu seperti apa, apa tugasnya dan tantangannya," terang dia.
 
Selain mengadakan rekrutmen, Sahabat Pulau mengajak para pemuda untuk menjadi kakak asuh. Mirip orang tua asuh, program kakak asuh itu mewajibkan tiap kakak asuh "merawat" satu orang anak yang kurang mendapatkan pendidikan layak dari daerah terpencil untuk dibimbing. "Tiap bulan sekali kakak asuh ini berkirim surat lewat pos kepada adiknya. Diharapkan, dengan cara ini, budaya menulis dapat meningkat dan mereka tahu cara mengirim surat lewat pos," terang pria yang aktif dalam kegiatan nasional dan internasional tersebut.
 
Selain itu, kakak asuh yang telah bekerja diharapkan tiap bulannya dapat memberikan sumbangan minimal Rp 50 ribu kepada adik asuhnya. Dalam program tersebut juga, terang dia, ada empat anak yang menjadi adik asuhnya di Sahabat Pulau yang juga mendapatkan beasiswa dari NGO Not Another Child di Hawaii sebesar USD 50 per bulan. "Jadi, selain mendapatkan bantuan dari kakak asuhnya, dia dapat USD 50 per bulan dari NGO tersebut. Tentunya mereka memang berasal dari keluarga yang sangat membutuhkan," ucapnya.
 
Untuk rencana ke depan, Hendriyadi menargetkan pada 2015 komunitas tersebut dapat merangkul seribu pasang kakak dan adik asuh. "Kami juga menargetkan mendirikan perwakilan Sahabat Pulau di setiap provinsi di Indonesia dan membangun setidaknya Rumah Baca Harapan di setiap provinsi," harapnya.
 
Hendriyadi juga memiliki cita-cita lain, yaitu punya kapal perpustakaan. Dia menjelaskan bahwa kapal tersebut tidak hanya digunakan untuk perpustakaan bagi anak-anak di kepulauan dan pesisir, tapi juga dapat dipakai untuk touring ke daerah lain. "Ada kasus di mana anak-anak di sebuah pulau tidak pernah meninggalkan pulau hingga usia 15 tahun. Jadi, mereka mana tahu yang namanya lampu merah atau kantor gubernur karena di pulau mereka tidak ada lampu merah. Dengan adanya kapal ini, mereka bisa diajak ke luar pulau," tutur Hendriyadi yang pernah menjadi ketua BEM di fakultasnya.
 
Baru setahun lebih tujuh bulan berdiri, Sahabat Pulau telah berhasil memperoleh peringkat ketiga sebagai local heroes dari pemerintah AS sekitar awal 2012. Penghargaan tersebut diperoleh setelah komunitas itu direkomendasikan seseorang untuk menjadi salah satu peserta. "Saya tidak tahu siapa yang merekomendasikan, tiba-tiba dapat juara. Penghargaan langsung diberikan pihak Kedutaan Besar AS di Jakarta," katanya bangga.
 
Selain itu, komunitas tersebut sempat masuk sebagai finalis Alumni Engagement Innovation Fund 2012 yang juga diselenggarakan pemerintah AS. Namun, Hendriyadi mengatakan, penghargaan itu bukanlah tujuan utama komunitas tersebut didirikan. "Yang pokoknya bukan itu, penghargaan itu hanya bonus. Tujuan utamanya adalah kepuasan sebagai sukarelawan untuk mengajar anak-anak di daerah pedalaman," tandasnya. (*/c9/kim)
 

BACA JUGA: Pamit Pergi ke Sekolah, Pulang Bawa Ikan Tangkapan

BACA ARTIKEL LAINNYA... Berangkat Sehat, Syamsuri Berharap Pulang ke Tanah Air


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler