Danau Toba, Kota Berkat di Atas Bukit

Sabtu, 09 April 2016 – 00:18 WIB
Danau Toba. Foto: Metro Siantar/dok.JPNN

jpnn.com - SEKELOMPOK warga Batak di Jakarta aktif menggelar diskusi rutin, setiap hari Kamis. Diskusi Kamisan itu selalu mengulas hal-hal yang terkait dengan upaya pengembangan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata berkelas internasional.

“Kami ini rata-rata kalangan profesional yang bekerja di Jakarta. Setiap Kamis kami berkumpul berdiskusi mengulas mengenai Danau Toba,” ujar Boy Tonggor Siahaan, petugas di sekretariat Yayasan Pencinta Danau Toba, kepada JPNN kemarin.

BACA JUGA: Dana Turun, 322 Desa di Aceh Barat Menggeliat

Boy menjelaskan, hasil diskusi dipublikasikan di situs yang mereka kelola, sebagai sumbangan pemikiran untuk pengelolaan Danau Toba ke depan. “Kami publikasikan, sekaligus agar orang-orang Batak yang berserak, bahkan yang ada di negera-negara lain pun, bisa tahu persoalan-persoalan terkini Danau Toba,” imbuh Boy.

Sebelum pemerintahan Jokowi-JK mencuatkan semangat untuk memacu pengelolaan Danau Toba, para warga Batak di Jakarta yang tergabung di Yayasan Pencinta Danau Toba itu sudah aktif menggelar diskusi.

BACA JUGA: Wow, Kopi Temanggung Bakal Dipajang di Atlanta

Setelah menggaung rencana pembentukan Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Pariwisata Danau Toba, diskusi semakin intens. “Setiap diskusi, rata-rata hadir delapan orang. Tidak banyak dan kami mengajak warga Batak lainnya untuk ikut gabung menjadi member,” ujarnya.

Diskusi, lanjutnya, juga menumpahkan kritik dan saran jika ada konsep dan rencana yang digagas pemerintah dianggap salah. “Kami menempatkan diri sebagai sahabat pemerintah. Kalau salah kita kritik, kalau benar kita dukung,” kata Boy.

BACA JUGA: Pelaku Utama Jelaskan Soal Materai

Dikutip dari website yang dikelola yayasan itu, beberapa diskusi temanya cukup menarik. Antara lain diskusi yang digelar Kamis malam, 17 Maret 2016.

Maruap Siahaan, salah seorang peserta diskusi yang juga Ketua Umum Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) mengatakan bahwa orang Batak itu sangat Physical dan yang disoroti hanya aspek fisik saja. Padahal, lanjutnya, yang terpenting dalam membangun kawasan Danau Toba adalah aspek karakter.

“Bicara infrastruktur itu hanya bicara akses ke kawasan Danau Toba, sarana dan prasarana jalan-jalan. Kita tidak hanya bicara yang tampak, tetapi juga yang tidak tampak,” ujar Maruap.

Dalam diskusi itu muncul istilah Kota Berkat di Atas Bukit. “Karena itu, dalam melihat Kota Berkat di Atas Bukit, adalah mempersiapkan manusia yang memiliki karakter dan menjadi berkat untuk waktu yang sangat panjang,” ujarnya.

Menurutnya, karakter orang Batak saat ini telah mengalami pergeseran, dari  yang religius/rohani (Theos) ke arah yang sekuler, hedonisme, materialisme, konsumtivisme, kapitalisme. “Hal seperti ini menimbulkan dampak buruk ekonomis. Semuanya menjadi bersifat transaksional. Karena itu, kita harus mengubah pola pikir orang-orang yang memiliki value yang bersifat transaksional dan materialistis menjadi valuenya adalah Berkat,” ulasnya.

“Kawasan Danau Toba sebenarnya adalah Kota Berkat di Atas Bukit, yang sudah menerima Berkat. Berkat itu sudah diberikan Tuhan sebagai anugerah (given blessing) bagi orang-orang Batak di Kawasan Danau Toba,” imbuhnya lagi.

Dengan pemikiran yang mirip, Ronsen Pasaribu, pembicara yang lain, merasa kurang sreg dengan keinginan pemerintah menjadikan Danau Toba sebagai Monaco of Asia. Dia lebih setuju menggunakan istilah Kota Berkat di Atas Bukit.

“Sebutan Monaco of Asi“, kita harus memperjelas istilah tersebut karena Kawasan Danau Tobabukanlah kawasan di mana ada prostitusi, narkoba, dan lain-lain. Kawasan Danau Toba itu Kota Berkat di Atas Bukit. Karena itu, kawasan itu berbeda dengan Monaco atau kota-kota lain. (sam/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saksi Ahli Menduga Ada Intervensi Penguasa


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler