Yayasan Dokter Peduli atau dikenal dengan Doctor Share (DS) meresmikan Rumah Sakit Apung (RSA) dr Lie Dharmawan. Meski baru diluncurkan, kapal berukuran 23,5 x 6,55 meter itu sudah menyusuri tiga pulau di Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Belitung (Bangka Belitung), dan Ketapang (Kalimantan Barat). Inilah RSA swasta pertama di Indonesia yang akan menjangkau pulau-pulau terpencil di Indonesia.
BRIGITA SICILLIA, Jakarta
"Ini adalah sebuah bentuk dedikasi tulus yang dilakukan profesi dokter. Saya salut dan merasa beruntung bisa hadir hari ini melihat sendiri RSA yang ternyata di dalamnya cukup lengkap layaknya sebuah RS," kata Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan saat meresmikan RSA swasta pertama di Indonesia itu, Kamis (6/6).
Begitu datang, Dahlan langsung antusias melihat bagian dalam kapal yang disandarkan di dermaga jetski Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Dimulai dari ruang operasi, penulis buku Ganti Hati itu banyak bertanya soal kegiatan operasi yang sudah dilakukan di atas kapal. Khususnya soal bagaimana rasanya mengoperasi orang di dalam kapal yang bergoyang ketika dihempas ombak. Rasa penasarannya mulai terjawab satu per satu dengan jawaban langsung dari dr Lie.
Dahlan yang seperti biasa menggunakan kemeja putih dilinting dan sepatu kets itu mulai menyusuri ruangan kapal satu per satu. Mulai kamar operasi, ruang pemulihan, ruang EKG, ruang USG, laboratorium, kamar gelap untuk mencetak hasil rontgen, hingga ke dek kapal.
Hasilnya, Dahlan sangat kagum dan menganggap apa yang dilakukan komunitas DS sebagai hal yang harus diapresiasi positif. "Luar biasa. Apa yang ada hari ini adalah bukti bahwa dr Lie dan kawan-kawan tidak hanya "berani" di darat saja, tapi juga di laut. Mereka sungguh-sungguh berdedikasi dengan profesi mereka sebagai dokter," pujinya lagi.
Sementara itu, dr Lie yang merupakan pemrakarsa yang awalnya dianggap ide "gila" itu mengatakan bahwa impian itu tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan support dari dokter-dokter muda yang ada di DS. Ide pembuatan RSA itu didapatkan ketika dia melakukan perjalanan ke pulau Tual.
Di pulau tersebut dia melihat ibu-ibu membawa anaknya yang sakit untuk berobat, namun untuk berobat harus menyeberangi laut selama 3 hari 2 malam. "Ide ini lahir 4 tahun lalu di kota Tual, anak itu ususnya terjepit dan harus di operasi dalam 9 jam. Namun mereka butuh waktu untuk berobat," katanya.
Menurutnya, langkah pertama menentukan langkah-langkah besar selanjutnya. Kira-kira itulah yang tengah dilakukan DS. Dokter spesialis jantung lulusan Jerman itu percaya, bahwa akan lebih bijak jika melakukan sebuah langkah konkret ketimbang mengeluh atau mengkritik.
"Tidak usah berdebat mana lebih dulu ada, telur atau ayam? Kalau mau telur yah sediakan saja telurnya," demikian pepatah bijak yang keluar dari pria Tionghoa kelahiran Padang, Sumatera Barat, itu. Melalui RSA itu pihaknya ingin melakukan terobosan, setelah selama ini seringkali melakukan aktivitas pengobatan di darat.
Dia juga berkaca pada UUD 1945 pasal 28 H dan UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Dia mengamanatkan bahwa setiap WNI berhak memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. "Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, penduduk Indonesia tersebar di ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kebanyakan dari mereka tidak mendapat akses kesehatan yang layak," cetus pria 67 tahun itu.
Realitasnya, pemanfaatan RS masih terpusat di kota. Sedangkan puskesmas yang diharapkan mampu menjangkau wilayah terpencil dengan harga terjangkau, seringkali terbentur pada minimnya tenaga medis dan faktor geografis.
"Faktor-faktor itulah yang kemudian mendorong kami untuk berbagi solusi dan memberikan jawaban berupa akses kesehatan lewat RSA ini. Kami mau jemput bola bagi pasien yang membutuhkan," urai lulusan kedokteran Freie Universitet, Jerman itu.
Dalam sekali perjalanan, kapal ini akan membawa sekitar 17 awak dan 12 di antaranya merupakan dokter, seperti dokter anak, dokter bedah, dokter anestesi, dokter umum, dokter penyakit dalam dan lain-lain. Sedang untuk biaya pelayaran dan kegiatan kedokteran sendiri, dr Lie mengaku hanya mengandalkan dari dana pribadi, yayasan serta donatur.
Sebatas informasi, pelayaran perdana kapal itu sudah dilakukan ketika melakukan pelayaran ke Pulau Panggang, Kepulauan Seribu pada 16-17 Maret 2013 lalu. Di sana, pihaknya berhasil mengobati 320 warga, 15 pasien bedah minor, 5 pasien bedah mayor yang dilaksanakan di badan kapal. Pelayaran kedua ke Manggar, Belitung Timur pada 2-4 April 2013 dan trilogi ujicoba berakhir di Ketapang, Kalimantan Barat pada 12-14 April 2013 lalu. (*)
BRIGITA SICILLIA, Jakarta
"Ini adalah sebuah bentuk dedikasi tulus yang dilakukan profesi dokter. Saya salut dan merasa beruntung bisa hadir hari ini melihat sendiri RSA yang ternyata di dalamnya cukup lengkap layaknya sebuah RS," kata Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan saat meresmikan RSA swasta pertama di Indonesia itu, Kamis (6/6).
Begitu datang, Dahlan langsung antusias melihat bagian dalam kapal yang disandarkan di dermaga jetski Pantai Mutiara, Jakarta Utara. Dimulai dari ruang operasi, penulis buku Ganti Hati itu banyak bertanya soal kegiatan operasi yang sudah dilakukan di atas kapal. Khususnya soal bagaimana rasanya mengoperasi orang di dalam kapal yang bergoyang ketika dihempas ombak. Rasa penasarannya mulai terjawab satu per satu dengan jawaban langsung dari dr Lie.
Dahlan yang seperti biasa menggunakan kemeja putih dilinting dan sepatu kets itu mulai menyusuri ruangan kapal satu per satu. Mulai kamar operasi, ruang pemulihan, ruang EKG, ruang USG, laboratorium, kamar gelap untuk mencetak hasil rontgen, hingga ke dek kapal.
Hasilnya, Dahlan sangat kagum dan menganggap apa yang dilakukan komunitas DS sebagai hal yang harus diapresiasi positif. "Luar biasa. Apa yang ada hari ini adalah bukti bahwa dr Lie dan kawan-kawan tidak hanya "berani" di darat saja, tapi juga di laut. Mereka sungguh-sungguh berdedikasi dengan profesi mereka sebagai dokter," pujinya lagi.
Sementara itu, dr Lie yang merupakan pemrakarsa yang awalnya dianggap ide "gila" itu mengatakan bahwa impian itu tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan support dari dokter-dokter muda yang ada di DS. Ide pembuatan RSA itu didapatkan ketika dia melakukan perjalanan ke pulau Tual.
Di pulau tersebut dia melihat ibu-ibu membawa anaknya yang sakit untuk berobat, namun untuk berobat harus menyeberangi laut selama 3 hari 2 malam. "Ide ini lahir 4 tahun lalu di kota Tual, anak itu ususnya terjepit dan harus di operasi dalam 9 jam. Namun mereka butuh waktu untuk berobat," katanya.
Menurutnya, langkah pertama menentukan langkah-langkah besar selanjutnya. Kira-kira itulah yang tengah dilakukan DS. Dokter spesialis jantung lulusan Jerman itu percaya, bahwa akan lebih bijak jika melakukan sebuah langkah konkret ketimbang mengeluh atau mengkritik.
"Tidak usah berdebat mana lebih dulu ada, telur atau ayam? Kalau mau telur yah sediakan saja telurnya," demikian pepatah bijak yang keluar dari pria Tionghoa kelahiran Padang, Sumatera Barat, itu. Melalui RSA itu pihaknya ingin melakukan terobosan, setelah selama ini seringkali melakukan aktivitas pengobatan di darat.
Dia juga berkaca pada UUD 1945 pasal 28 H dan UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Dia mengamanatkan bahwa setiap WNI berhak memperoleh layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. "Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, penduduk Indonesia tersebar di ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kebanyakan dari mereka tidak mendapat akses kesehatan yang layak," cetus pria 67 tahun itu.
Realitasnya, pemanfaatan RS masih terpusat di kota. Sedangkan puskesmas yang diharapkan mampu menjangkau wilayah terpencil dengan harga terjangkau, seringkali terbentur pada minimnya tenaga medis dan faktor geografis.
"Faktor-faktor itulah yang kemudian mendorong kami untuk berbagi solusi dan memberikan jawaban berupa akses kesehatan lewat RSA ini. Kami mau jemput bola bagi pasien yang membutuhkan," urai lulusan kedokteran Freie Universitet, Jerman itu.
Dalam sekali perjalanan, kapal ini akan membawa sekitar 17 awak dan 12 di antaranya merupakan dokter, seperti dokter anak, dokter bedah, dokter anestesi, dokter umum, dokter penyakit dalam dan lain-lain. Sedang untuk biaya pelayaran dan kegiatan kedokteran sendiri, dr Lie mengaku hanya mengandalkan dari dana pribadi, yayasan serta donatur.
Sebatas informasi, pelayaran perdana kapal itu sudah dilakukan ketika melakukan pelayaran ke Pulau Panggang, Kepulauan Seribu pada 16-17 Maret 2013 lalu. Di sana, pihaknya berhasil mengobati 320 warga, 15 pasien bedah minor, 5 pasien bedah mayor yang dilaksanakan di badan kapal. Pelayaran kedua ke Manggar, Belitung Timur pada 2-4 April 2013 dan trilogi ujicoba berakhir di Ketapang, Kalimantan Barat pada 12-14 April 2013 lalu. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Boyong Keluarga Tinggalkan Indonesia Demi Menjadi Guru
Redaktur : Tim Redaksi