jpnn.com - JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani mempertanyakan penjelasan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), M Yusuf Ali dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan PPATK, di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Kamis (11/2).
Problemanya adalah saat PPATK mengatakan ada laporan maupun hasil analisis yang disampaikan kepada aparat penegak hukum, namun tidak dilanjuti dengan alasan setelah diselidiki bahkan disidik, laporan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
BACA JUGA: Jokowi Komitmen Menuntaskan Pelanggaran HAM, Buktinya?
"Tentu kami bisa melihat persoalan tersebut dengan dua sisi. Pertama, berbaik sangka dan kedua berburuk sangka," kata Arsul.
Berbaik sangka lanjutnya, setelah dilakukan penyelidikan dan penyidikan lalu dihentikan karena alasan tidak memenuhi unsur-unsur pidana. "Kalau berburuk sangka, mungkin karena kasusnya menyangkut orang kuat tertentu aparat penegak hukum sehingga dianggap tidak memenuhi unsur-unsur atau bukti-bukti yang cukup sehingga tidak dilanjutkan," kata Asrul.
BACA JUGA: SIMAK! Saran Bos PGRI untuk Para Pentolan Honorer K2
Belajar dari dua fakta tersebut di atas lanjut politikus PPP ini, sepertinya PPATK harus punya alat pemaksa agar aparat penegak hukum tidak menghentikan laporan maupun hasil analisis PPATK.
"Jika mekanisme pemaksa belum diatur dalam undang-undang yang memperkuat posisi PPATK untuk melanjutkan laporan tersebut, saya menawarkan kira-kira perundang-undangan apa yang diperlukan agar hasil analisis PPATK tidak dibuang begitu saja, dan terkesan seperti kerja yang sia-sia?" ujar Arsul.
BACA JUGA: Tiba-tiba, Ribuan Honorer K2 Kompak Bergoyang Ria, Ada Apa?
Kalau PPATK punya draft peraturan dan perundang-undangannya, Arsul Sani meminta agar dokumen tersebut diserahkan sesegera mungkin ke DPR. "Meski Prolegnas sudah diketok, tapi masih ada perubahan Prolegnas yang memungkinkan untuk memasukan revisi UU terkait kewenangan PPATK," ujar Arsul.
Menyikapi tawaran Komisi III DPR tersebut, Kepala PPATK, mengatakan bahwa pihaknya sudah menyampaikan kendala PPATK tersebut kepada Menteri Hukum dan Ham (Menkumham). "Masalahnya, kenapa UU terkait kewenangan PPATK tidak dimasukkan dalam Prolegnas?" tanya Yusuf.
Dia menambahkan, saat bertemu Menkumham di Istana, pihaknya sudah mengeluhkan, kenapa UU untuk memperkuat kewenangan PPATK tidak dimasukkan dalam prolegnas. Saat itu Menkuham menjawab tidak tahu. Di sini lain penguatan PPATK ini sangat perlu, karena masih ada kepala daerah yang memiliki transaksi gila-gilaan tapi tidak dapat terdeteksi," kata Yusuf.
Dalam laporannya yang dibacakan di rapat kerja dengan Komisi III, M Yusuf Ali menjelaskan hingga Desember 2015 ada sekitar 2.512 hasil analisis dan informasi yang dimiliki PPATK. "Hanya 930 feedback tindak lanjut yang diterima PPATK," ungkap M Yusuf Ali. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hendardi: Tim Rekonsiliasi HAM Menyalahi UU
Redaktur : Tim Redaksi