Daripada Makan Hati, Lebih Baik Hidup Sendiri

Selasa, 13 Januari 2015 – 04:57 WIB

jpnn.com - MEDAN - Dari 1.960 wanita yang mengugat cerai suami di Pengadilan Agama Medan Kelas I A sepanjang 2014, sebagian besar merupakan wanita yang memiliki pekerjaan atau mampu mencari nafkah sendiri.

Bahkan, 26 orang dari penggugat itu adalah aparatur pemerintah (PNS) yang masalah perkawinan ataupun perceraiannya sudah diatur dalam PP No 10 Tahun 1983 Jo PP No 45 Tahun 1990.

BACA JUGA: Derita Suami Setelah Tahu Istri Bergigi Palsu, Tertipu 4 Tahun (1)

Hal itu disampaikan Wakil Panitera Pengadilan Agama Medan Kelas I A, Drs Aidil kepada Sumut Pos (Grup JPNN).

"Dalam keterangannya, rata-rata penggugat itu mengaku sudah tidak tahan dengan perilaku suami mereka. Penggugat kebanyakan mengaku daripada terus makan hati, lebih baik hidup sendiri," ungkap Aidil.

BACA JUGA: Yang Seperti Ini Benar-benar Bikin Malu Jokowi

Lebih lanjut, Aidil menyebut kalau hal itu menunjukkan sikap seorang suami yang meninggalkan tanggung jawab, sangat mengganggu keharmonisan sebuah rumah tangga.

Bahkan, Aidil menyebut kalau saat mediasi, istri sebagai penggugat yang biasanya menolak untuk rujuk dan bertahan untuk tetap bercerai, dikarenakan kecewa dengan sikap seorang suami yang meninggalkan tanggung jawab.

BACA JUGA: DPR Sarankan Pelantikan Hasban jadi Sekda Sumut Ditunda

Saat disinggung soal hak asuh anak atas pasangan suami istri (pasutri) yang bercerai, disebut Aidil kalau hampir seluruh hak asuh anak yang disidangkan di Pengadilan Agama Medan Kelas I A sepanjang 2014, jatuh pada Ibu.

Disebutnya, dari 7 perkara gugatan hak asuh anak yang sudah disidangkan, merupakan gugatan yang otomotis dalam sidang perceraian yang disidang.

"Hukum sudah menentukan, batas usia anak 12 tahun, hak asuhnya kepada ibu. Lebih dari itu, si anak bisa milih. Namun, bisa juga anak berusia di bawah 12 tahun, diasuh oleh ayah karena ibu memiliki prilaku tidak baik, yang dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan prilaku anak," tandas Aidil.

Sementara, Konselor Biro Psikologi RSUD dr Pirngadi Medan Indah Kumala Hasibuan MPsi menilai, kurangnya komunikasi dan adanya kesetaraan gender serta faktor ekonomi menjadi penyebab banyaknya istri yang menggugat cerai suami.

Menurutnya, cukup banyak perempuan yang merasa setara dengan suaminya, memiliki sama penghasilan, dan sama pendidikan.

Namun begitu, kata Indah, meskipun istri setara dengan suami, harus diingat istri itu tetap pelayan suaminya. Apapun kedudukannya dan pekerjaaannya.

"Lalu, faktor ekonomi juga menjagi pemicu. apalagi saat ini semua serba mahal, membuat sang istri harus bergerak. Apalagi bila sang istri memiliki penghasilan sementara suami tidak. Sehingga istri lebih sering berpikir, ia yang terus menerus memberi nafkah. Sehingga sering menimbulkan perselingkuhan dan ini awalnya karena faktor ekonomi," terang Indah yang menjabat sebagai Kabid Lit Bang dang Konselor VCT di RSUD dr Pirngadi.

Untuk itu, lanjutnya, tak heran bila fenomena istri menggugat cerai suaminya semakin banyak terjadi. Kalau dulu suaminya tak kerja istri diam saja, mengingat ada adat istiadat, namun sekarang sudah jauh berbeda.

"Perlu ditekankan bagi calon pasangan yang ingin melakukan pernikahan agar mengetahui pasti pekerjaan calon sumainya. Buat komitment kepada pasangan. Sehingga bila mengetahui suami tak bekerja bisa menerima dia. Kalau perlu komitmen dilakukan hitam di atas putih. Perlu juga sebelum menikah periksa kesehatan calon suami," urai wanita berhijab ini saat ditemui di ruang kerjanya. (ain/nit/adz)

 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Petisi Online PRT Medan Tembus 17 Ribu Dukungan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler