jpnn.com - Tujuan akhir saya kali ini: Lebanon. Negeri kecil yang terjepit itu. Israel di selatannya. Syria di utaranya. Laut di baratnya. Untung ada langit di atasnya.
Tapi tidak ada penerbangan ke Beirut. Langsung dari Jakarta. Pilihannya sih banyak: lewat Istanbul, Turki.
BACA JUGA: Ingat Anas, Shangrila dan Lijiang
Lewat Dubai. Atau Abu Dhabi. Dua kota di Uni Emirat Arab.
Atau lewat Muscat di Oman. Atau lewat Jeddah, Arab Saudi. Masih bisa lewat Cairo, Mesir.
BACA JUGA: Kemenag Minta Saudi Tidak Persulit Jemaah Umrah Indonesia
Pilihan saya: lewat Doha. Di Qatar.
Sekalian saya ingin tahu: perkembangan terbarunya. Setelah dikucilkan selama dua tahun. Oleh Arab Saudi dan sohibnya: Emirat Arab, Bahrain, Oman dan Kuwait.
BACA JUGA: Empat Semester untuk Ajaran Bung Karno
Sebenarnya ingin juga lewat Oman. Ingin nostalgia: ke situlah saya ke luar negeri pertama. Dalam hidup saya.
Itu 40 tahun lalu. Saat saya masih wartawan pemula. Harus meliput ketegangan di Salalah. Perbatasan Oman dengan Yaman (Hadramaut).
Sayangnya tidak tiap hari ada penerbangan ke Muscat. Padahal ngiler sekali bisa ke Oman lagi. Mengenang ini: pertama kali tinggal di hotel bintang lima. Intercontinental: saya bawa pulang pernik-pernik hotel itu.
Pertama kali naik helikopter. Milik tentara. Terbang dari Muscat ke Salalah.
Pertama kali tahu dan merasakan sarapan ala Eropa.
Pertama kali merasakan apa itu jetlag. Tidak bisa tidur tengah malam.
Pertama kali naik business class: saya bawa pulang pernik-pernik pesawat.
Semua itu dibayar oleh kerajaan Oman. Yang kaya. Meski termiskin di semenanjung Arabia.
Juga pertama kali saya melakukan liputan bersama lima wartawan asing. Saya tergagap-gagap: cewek-cewek bule itu, wartawati dari Inggris itu, berambut pirang itu, begitu fasih berbahasa Arab. Saya KO.
Saya tidak malu mengakui ini: tidak berani mengajukan pertanyaan. Setiap kali ada momen saya hanya mendengarkan. Mencatat.
Toh yang ingin saya tanyakan sudah terwakili. Sudah ditanyakan oleh wartawati-wartawati yang memperlakukan saya itu.
Pikiran saya pun terbuka: siapa pun berbahasa Arab di Arab. Bukan hanya yang seperti kami yang Islam.
Kemampuan bahasa Arab saya ternyata tidak ada apa-apanya. Hanya bisa membedakan mana itu doa. Dan mana itu pengumuman pramugari yang diucapkan dalam bahasa Arab: jangan merokok di toilet.
Lupakan nostalgia.
Melihat perkembangan Qatar lebih penting.
Qatar. Yang menjadi pusatnya jaringan stasiun televisi Al-Jazeera: CNN-nya Timur Tengah. Yang begitu objektif. Independen. Tidak pernah ‘no signal’. Dalam melihat perkembangan apa pun di dunia Arab. Sampai wartawannya masih di dalam penjara. Di Mesir.
Qatar. Saya juga ingin melihat, ehm, stadionnya. Yang lagi dibangun. Untuk piala dunia 2022. Yang banyak ditentang itu: bagaimana sepak bola dilaksanakan di negara gurun. Yang suhunya bisa 45 derajat. Pada bulan Juli.
Qatar. Anda sudah tahu: ngotot. Sampai menawarkan ini: membangun empat stadion baru sekaligus. Yang semuanya full AC.
Qatar. Saya sebenarnya masih menunggu tawaran baru Qatar: semua penontonnya diberi tiket pesawat gratis. Juga saat masuk stadion. Tambah voucher hotel. Lalu ada doorprize Jaguar.
Sayang lembaga sepak bola dunia tidak minta syarat itu. Keputusan FIFA justru mengagetkan: Demi Qatar Piala Dunia 2022 diubah. Tidak Juli. Diganti Desember. Saat suhu udara Qatar sejuk sekali. Seperti di saat kedatangan saya sekarang ini: 15 derajat.
Maka pertama kali dalam sejarah: Pertama, Pala Dunia di musim dingin. Pertama di benua Arab. Pertama stadion-stadion barunya selesai dibangun lebih cepat: dua tahun sebelum acaranya.
Di Brazil dulu, sehari sebelum pembukaan pun masih ada tukang yang bekerja.
Qatar. Akhir 2018. Saya pun beruntung: bisa makan di pasar tradisional Arab. Di Qatar yang begitu modern.
Qatar. Tentu saya juga ingin melihat ini: apakah Arab Saudi jadi membangun parit. Parit besar. Di sepanjang perbatasannya dengan Qatar. Agar Qatar benar-benar terisolasi: darat, laut, udara. Saking marahnya.
Qatar. Tunggulah besok.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Putri Huawei Ratu KFC
Redaktur : Tim Redaksi