Dark Academia

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 16 Oktober 2021 – 15:14 WIB
Saat Universitas Pertahanan (Unhan) RI memberikan gelar profesor kehormatan kepada Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri. Foto: dok Unhan

jpnn.com - Megawati Soekarnoputri dikukuhkan menjadi profesor di Universitas Pertahanan, lalu diangkat menjadi Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sebelumnya, anak Mega yang sekaligus putri mahkota, Puan Maharani, juga sudah dikukuhkan sebagai doktor kehormatan di Universitas Diponegoro, Semarang.

BACA JUGA: Megawati Terima Gelar Profesor Kehormatan, Wanita Emas: Sungguh Membanggakan

Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir sedang antre menunggu giliran dapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Sebelumnya, sudah ada Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mendapat gelar doktor kehormatan dari Universitas Airlangga, Surabaya.

BACA JUGA: 3 Alasan di Balik Gelar Profesor Kehormatan Unhan untuk Megawati

Menteri Sosial Tri Rismaharini—saat masih menjabat wali kota Surabaya--juga mendapat gelar doktor kehormatan dari Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya.

Wakil Ketua DPR dan politisi Partai Demokrat Agus Hermanto dikukuhkan menjadi profesor kehormatan di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Kakak ipar Agus, Susilo Bambang Yudhoyono, sudah terlebih dahulu diangkat menjadi profesor kehormatan di Universitas Pertahanan.

BACA JUGA: Wapres Kiai Maruf dapat Gelar Kehormatan dari UMI Makassar

Obral gelar kehormatan ini makin banyak terjadi beberapa tahun terakhir. Menjelang tahun politik 2024 obral gelar kehormatan kelihatannya bakal makin ramai. Sebagian akademisi menangisi fenomena ini.

Namun, para rektor pemimpin universitas, malah terlihat dengan senang hati ikut ambil bagian dalam obral gelar ini.

Beberapa dosen di UNJ membentuk konsorsium menolak obral gelar kepada Ma’ruf Amin dan Erick Thohir. Alasannya, pemberian gelar itu bertentangan dengan statuta kampus dan lebih kental aroma politiknya.

Alasan pertama akan mudah dipatahkan, karena ada kabar pihak kampus akan mengamendemen statuta untuk memungkinkan gelar kehormatan diberikan kepada pejabat negara yang masih aktif.

Universitas Indonesia (UI) sudah terlebih dahulu memberi contoh amendemen terhadap statuta untuk menyesuaikan kepentingan rektor Ari Kuncoro, yang merangkap menjadi komisaris di perusahaan bank negara. Amendemen itu bocor ke publik dan mendapat protes keras.

Ari akhirnya mengundurkan diri dari jabatan komisaris.

Demokrasi sudah mati. Kata Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya ‘’How Democarcies Die’’ (2018). Dua profesor (asli) dari Harvard itu menunjukkan berbagai indikator yang mengarah kepada kematian demokrasi.

Kampus yang mestinya menjadi penjaga suara demokrasi, sekarang berubah menjadi penjaga kekuasaan.

Tahun ini, Peter Fleming, akademisi Amerika menerbitkan buku ‘’Dark Academia: How Universities Die’’. Fleming mengungkap sejumlah fenomena yang menunjukkan bahwa tradisi intelektual kampus sudah mati, dan kampus hanya menjadi puing yang bahkan menara gadingnya pun sudah ambruk.

Tidak ada hubungan langsung antara analisis Levitsky-Ziblatt dengan Fleming. Di Amerika, kampus-kampus tidak obral gelar kehormatan kepada pejabat negara atau politisi. Namun, perubahan kampus--yang sekarang menjadi perusahaan komersial--telah membunuh tradisi intelektual kampus yang selama ini dibanggakan.

Fleming menganggap kampus sudah mampus dilindas oleh gelombang neoliberalisme yang menjadikan lembaga pendidikan tinggi sebagai mesin penghasil uang dari pada penghasil cendekiawan.

Fenomena komersialisasi melanda Amerika, Eropa, dan Australasia. Di Indonesia kampus sudah menjadi lembaga komersial yang dikelola dengan prinsip-prinsip bisnis. Kampus menjadi mesin pencari uang yang dikelola oleh pejabat yang punya keterampilan bisnis dan keuangan.

Para ilmuwan dan intelektual--yang seharusnya menjadi ujung tombak kampus--berubah menjadi pegawai yang harus patuh kepada manajer komersial.

Undang-undang Omnibus Law 2020 makin membuat kondisi kampus mengenaskan. Kampus menjadi objek investasi yang harus bisa menghasilkan profit dengan upayanya sendiri.

Orientasi ekonomi bisnis yang terlalu kuat mengalahkan orientasi intelektualitas yang idealistis. Berbagai program komersial dan investasi dibuka untuk mengeruk profit. Bukan hanya modal yang didatangkan dari luar, rektor pun bisa saja diimpor dari luar.

Kaum intelektual kampus diperlakukan sama saja dengan karyawan perusahaan pabrik panci. Para doktor dan guru besar harus mengisi presensi kehadiran setiap hari. Ada insentif tambahan untuk kehadiran, dan ada denda berupa pemotongan bagi yang mangkir.

Para pekerja kampus setiap saat sibuk dengan keharusan memenuhi target beban kerja. Meleset dari target beban kerja berarti tunjangan melayang. Atau, lebih buruk lagi, jabatan akan ikut melayang.

Yang terjadi kemudian banyak dosen yang menjadi tukang palak intelektual, memalak mahasiswa supaya membuat penelitian ilmiah, lalu sang dosen mendaku (mengeklaim) dengan menempelkan namanya sebagai ‘’first author’’. Sang dosen masih memaksa para mahasiswa supaya mengutip karya ilmiahnya untuk menaikkan sitasi.

Kematian universitas adalah fenomena internasional akibat neoliberalisme politik dan ekonomi. Peter Fleming menggambarkan suasana kampus yang kelam di Amerika dan Eropa.

Tekanan beban kerja yang sangat berat tidak diimbangi dengan remunerasi dan kompensasi yang memadai.

Fleming mencatat beberapa intelektual terkemuka di Amerika yang meninggal dan bunuh diri akibat tekanan kerja yang berlebihan di kampus. Kondisi para pengajar itu mengenaskan karena tidak mendapatkan akses layanan kesehatan dan tunjangan hidup yang memadai.

Seorang mahasiswa di Prancis melakukan bunuh diri dan meninggalkan ‘’suicide note’’, catatan bunuh diri yang mengutuk Emanuel Macron, presiden Prancis, dan menteri serta pejabat yang bertanggung jawab terhadap kondisi kampus.

Mahasiswa itu tidak kuat membayar biaya kuliah, dan harus hidup dalam kondisi miskin tanpa akses kesehatan yang memadai.

Di Indonesia belum terdengar ada dosen yang mati bunuh diri karena frustrasi oleh kondisi kampus. Namun, sudah banyak dosen yang meninggal karena tekanan batin yang menyebabkannya mati jantungan.

Protes terhadap komersialisasi kampus yang berlebihan sudah banyak disuarakan. Eksploitasi dan perbudakan yang berlebihan oleh jurnal internasional terakreditasi sudah sangat sering disuarakan. Namun, praktik itu tetap berjalan tanpa ada perbaikan.

Dr Sulardi, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) viral di media sosial karena menulis artikel ‘’Aku Malu Menjadi Dosen di Indonesia’’. Ia memprotes obral penghargaan guru besar oleh kampus kepada pejabat dan politisi.

Sulardi, seorang intelektual yang sangat berintegritas itu, meninggal dunia 2020, kemungkinan karena jantung dan tekanan psikis.

Sulardi malu kepada kolega dan keluarga karena sering ditanya kapan menjadi profesor. Sulardi mengatakan, ia sudah menjadi dosen perguruan tinggi selama 30 tahun lebih dan sudah menghasilkan ratusan karya ilmiah. Tidak ada pekerjaan lain yang dilakukan Sulardi kecuali mengajar, meneliti, dan menulis.

Satu-satunya kegiatan santai yang dinikmati Sulardi adalah bermain tenis bersama teman-teman dosennya.

Sulardi termasuk intelektual yang sangat produktif. Hasil risetnya tayang di berbagai jurnal nasional dan internasional. Ia sudah menulis beberapa buku ilmiah dan populer. Artikelnya bertebaran di berbagai media massa.

Artikelnya berjudul ‘’Profesor Substansial’’ di Harian Kompas merupakan salah satu protes kerasnya terhadap fenomena maraknya pemberian gelar guru besar kepada pejabat dan politisi.

Protes Sulardi mewakili suara hati para akademisi negeri. Saiful Mahdi, seorang dosen di Unsyiah Aceh, malah dihukum tiga bulan gegara mengkritik kondisi di fakultasnya. Unggahannya di medsos dianggap mencemarkan nama baik universitasnya sendiri.

Hakim memakai Undang-Undang ITE untuk menjerat sang dosen. Para akademisi memprotes hukuman ini.

Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan amnesti untuk mengampuni sang dosen. Tindakan Jokowi ini mendapat tepuk tangan orang banyak, meskipun tindakan itu mungkin tidak lebih dari ritual pencitraan.

Problem utama kematian kampus sama sekali tidak tersentuh oleh pencitraan itu. Bahkan, Jokowi ikut punya andil memasukkan universitas ke peti mati dan memakunya dengan UU Omnibus Law.

Saiful Mahdi dan Sulardi hanya contoh kecil dari korban kematian universitas. Sulardi, oleh teman-temannya, dijuluki sebagai ‘’profesor substansial’’. Sampai mati Sulardi tidak berhasil meraih impian tertinggi seorang akademisi untuk menjadi guru besar bergelar profesor.

Sulardi adalah martir dan syahid, yang menjadi saksi bahwa universitas sudah mati. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler