Darurat

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Minggu, 18 Juli 2021 – 09:34 WIB
Muhadjir Effendy. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Mungkin tidak banyak yang memperhatikan penampilan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy dalam beberapa kunjungan kerja ke daerah.

Selain tampilan yang bersahaja dengan baju putih atau batik lengan panjang, Muhadjir ternyata sering memakai topi dengan lambang empat bintang.

BACA JUGA: Muhadjir Effendy: Jangan Menumpuk Oksigen, Apalagi Jual Mahal

Di kalangan militer, empat bintang adalah simbol untuk seorang jenderal.

Tidak banyak menteri yang memakai topi dengan simbol jenderal.

BACA JUGA: Mahfud MD Jelaskan Istilah Darurat Militer yang Dilontarkan Muhadjir, Oalah...

Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan biasanya memakai topi bersimbol bintang. Namun, Prabowo formalnya adalah pensiunan letnan jenderal bintang tiga.

Latar belakang Muhadjir yang sipil tentu mengundang tanda tanya mengapa ia memakai empat bintang di topinya.

BACA JUGA: Menko PMK Muhadjir: Sekarang Ini Sudah Darurat Militer

Ketika wartawan menanyakan hal itu pada sebuah kesempatan, Muhadjir menjawabnya dengan gayanya yang khas.

Ia tersenyum lebar dan mengatakan bahwa tidak ada maksud apa-apa dengan topi itu.

Tidak ada filosofi di balik pemakaian topi itu. Ia memakainya karena staf sudah menyiapkan untuk dipakai.

Dengan bintang empat itu Muhadjir layak disebut sebagai "Jenderal Muhadjir".

Sebagai koordinator menteri, layak saja Muhadjir disejajarkan dengan jabatan seorang jenderal. Sama dengan menteri koordinator, Muhadjir mengomandoi banyak kementerian strategis di lingkungan sosial, pendidikan, agama, budaya, dan kesehatan.

Anak buah Muhadjir banyak yang jenderal aktif maupun pensiunan. Jenderal purnawirawan Fachrul Razi adalah anak buah Muhadjir ketika sang jenderal menjadi menteri agama.

Sekarang, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Ganip Wasrsito adalah bawahan Muhadjir.

Karena itu tidak ada yang salah kalau Muhadjir menyandang empat bintang di topinya, bukan di pundaknya.

Beberapa hari belakangan ini Jenderal Muhadjir mengagetkan banyak orang dengan pernyataannya bahwa Indonesia sedang berada pada kondisi darurat militer. Banyak yang terkejut dengan pernyataan itu. Ada juga yang mengira Muhadjir salah ucap.

Dalam kunjungannya ke Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (16/7), Muhadjir menyatakan bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami darurat militer meski tidak terdeklarasikan.

Kondisi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat ini oleh Muhadjir dianggap sebagai kondisi darurat militer. 

Kalau terjadi kondisi yang tidak normal karena munculnya berbagai gangguan negara bisa mendeklarasikan keadaan darurat sipil.

Dalam kondisi seperti ini polisi masih tetap memegang kendali pengamanan dengan mendapatkan kewenangan yang lebih dari kondisi tertib normal. Dalam kondisi darurat polisi bisa menangkap seseorang yang dianggap menjadi sumber gangguan tanpa prosedur standar di saat normal.

Jika kondisi masih memburuk, negara bisa mengumumkan kondisi darutat militer.

Dalam kondisi ini polisi dianggap tidak mencukupi lagi untuk mengendalikan keadaan, sehingga dibutuhkan bantuan militer.

Pada situasi seperti ini polisi dan militer terjun bersama-sama menyelenggarakan ketertiban sosial.

Kondisi yang lebih gawat lagi adalah darurat perang. Dalam situasi seperti ini kendali keamanan dan pertahanan sepenuhnya ada di tangan militer. Hukum yang berlaku bukan lagi hukum sipil, tetapi hukum militer, karena situasi memang berada pada situasi perang.

Di dalam semua situasi darurat itu pemerintah mengumumkan deklarasi secara resmi dan mengambil tindakan-tindakan yang extra-ordinary di luar kondisi normal.

Pemerintah bisa melakukan penangkapan tanpa barang bukti, pemerintah bisa mengeluarkan anggaran secara darurat, dan pemerintah bisa melakukan tindakan yang bisa dikategorikan above the law, di atas hukum.

Atas nama kondisi darurat, pengeluaran anggaran penanganan pandemi ratusan triliun rupiah memakai standar darurat di luar prosedur normal.

Presiden Jokowi juga sudah mengeluarkan aturan bahwa semua anggaran penanganan Covid-19 tidak bisa dijerat oleh pasal-pasal korupsi.

Muhadjir mengatakan arti darurat militer bukan berarti perang melawan musuh manusia, tetapi perang melawan pandemi yang tidak kelihatan. Ia juga mengatakan bahwa dalam pertempuran ini tidak menggunakan kaidah hukum perang.

Dalam kaidah hukum perang, orang-orang sipil tidak disebut sebagai musuh karena mereka adalah kekuatan non-kombatan. Hanya tentara yang disebut sebagai musuh karena menjadi kekuatan kombatan. Jika ada korban dari pihak sipil biasanya hal itu terjadi karena ketidaksengajaan.

Namun, dalam kondisi perang pandemi ini kaidahnya berbeda. Semua manusia dianggap kombatan atau petempur oleh virus Covid-19.

Karena itu pula maka semua korban yang jatuh adalah korban perang. Kalau selama ini sudah ada lebih dari 60 ribu warga Indonesia yang meninggal akibat pandemi, maka mereka adalah korban perang.

Warga sipil itu tidak disebut sebagai "collateral damage", karena dalam perang melawan pandemi ini justru warga sipil yang menjadi kombatan utama dan menjadi sasaran serangan lawan dalam bentuk serangan virus.

Perang melawan pandemi bukan perang simetris dengan musuh yang terlihat dan bisa diperkirakan kekuatannya melalui intelijen militer. Perang melawan pandemi ini adalah perang asimetris karena lawan yang dihadapi tidak simetris.

Muhadjir menceritakan perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia. Dulu, virus Corona diperkirakan tidak menyerang anak-anak dan ibu hamil.

Namun, saat ini muncul varian baru Delta yang jauh lebih ganas dan tidak pandang bulu. Tidak sedikit dari mereka yang menjadi korban meninggal adalah ibu hamil dan anak-anak. Inilah yang oleh Muhadjir disebut perang asimetris.

Dengan alasan itu, kata Muhadjir, Presiden Joko Widodo menerjunkan TNI dan Polri untuk ikut menangani Covid-19 karena sudah tidak bisa dihadapi dengan penanganan biasa. Ini daruratnya sudah darurat militer. 

Muhadjir tentu tidak asal bicara atau salah omong. Dia memahami betul anatomi TNI dan menguasai teori-teori militer. Dia paham mengenai epistemologi teori-teori kemiliteran.

Jangan lupa, Muhadjir adalah profesor dan guru besar di Universitas Muhammdiyah Malang. Ia pernah menjadi rektor universitas itu dan menjadikannya sebagai salah satu universitas swasta yang bergengsi di Indonesia.

Tidak banyak yang tahu juga bahwa Muhadjir adalah salah seorang akademisi dengan keahlian khusus di bidang militer.

Muhadjir adalah pengamat militer yang tekun. Ia memperoleh gelar doktor dengan melakukan penelitian terhadap militer. Disertasi itu dibukukan oleh UMM Press berjudul "Profesionalisme Militer: Profesionalisme TNI" (2008).

Muhadjir tahu betul apa yang dibicarakan. Dan, sudah pasti Muhadjir tidak sedang salah omong.

Mungkin ia sedang ngudarasa atau curhat karena portofolionya diambil orang lain. Seharusnya, dalam kondisi darurat seperti sekarang yang memegang komando PPKM Darurat adalah "Jenderal Muhadjir", bukan jenderal yang lain. (*)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler