DAU/DAK Rawan Disunat

Selasa, 06 Desember 2011 – 07:40 WIB

JAKARTA – Tata kelola keuangan daerah-pusat dalam penentuan bagi hasil kekayaan tak hanya lemah pada porsi idealnyaKelemahan lainnya juga kentara dalam kontrol penggunaan

BACA JUGA: Kemesraan Andhika-Malinda Dibeber di Pengadilan

Akibatnya, penggunaan DAU/DAK itu rawan penyelewengan.

Ketua Dekan FISIP UI Prof
Dr

BACA JUGA: Tarik Total Brimob Dari Papua

Bambang Shergi Laksmono menegaskan, pengelolaan tata keuangan daerah saat ini sangat lemah kontrolnya
Regulasi yang disiapkan tak cukup mumpuni mengevaluasi itu.

’’Kalau hanya besar kecil bagi hasil kekayaan itu soal sepele

BACA JUGA: Menkop UKM Siap Pecat Bawahan Korup

Paling tidak hanya porsi idealTapi kalau soal pengelolaan kekayaan itu yang perlu ditekankan,’’ tutur Bambang, Senin (5/12)

Menurut Bambang, desakan pemerintah daerah untuk meminta besaran bagi hasil yang lebih baik bukan persolan sulitSebagai daerah penyumbang anggaran, besaran hak bagi hasil itu memang perlu dievaluasi lagi.

Hanya saja, Bambang meminta ukuran besar kecil dana bagi hasil harus diikuti mekanisme kontrol penggunaannyaSelama ini, kontrol dalam pengelolaan DAU/DAK itu terlalu konvensionalPadahal, dana yang dihasilkan dari DAU/DAK itu sangat besar.

’’Bayangkan saja kita bicara soal besaran bagi hasil kekayaan alamTapi tidak bicara transparansi nilai yang didapat dari semua sumber pendapatan tersebut,’’ ucap anggota penyusun road map perdamaian Konflik Papua ini.

Dia menilai kontrol besaran DAU/DAK itu harus dimulai dari sumbernyaYakni melihat secara terbuka pendapatan dari kekayaan alam yang dihasilkanDengan segala parameter yang lengkap.

Dengan begitu, menurut dia, dapat secara ideal pula menentukan besaran bagi hasil kekayaan antara pusat dan daerahKarena dapat melihat kewenangan yang diperankan pusat-daerah’’Prinsipnya itu kekayaan alam dikuasai negara dan diperuntukkan bagi kemakmuran rakyatIni dasar berpikirnya,’’ pungkas dia.

Berpijak pada dasar itulah, tambah Guru Besar FISIP UI, ini kerangka besaran bagi hasil kekayaan mulai diaturTentunya perlu ada keterbukaan antara pusat dan daerah dalam nilai sesungguhnya pendapatan dari kekayaan daerah teresbut.
Pemerintah pusat, ucap dia, tak bias menutupi besaran sesungguhnya yang didapatkan dari kekayaan tersebutPemerintah daerah berhak mengetahui persis nilai pendapatan yang didapatkan, agar keduanya memiliki keterlibatan dalam persoalan itu.

’’Memang kerap muncul, pemerintah daerah hanya mendapatkan kerusakan alam dari tambang-tambang yang adaSedangkan pemerintah pusat dengan mudah membagi-bagi DAU/DAK tanpa mempertimbangkan kondisi yang ditanggung daerah,’’ jelas penyabet gelar Doktor bidang Kebijakan dan Perencanaan Sosial ini.

Dia berharap penekanan kontrol pengelolaan DAU/DAK harus lebih diperkuatMulai pendapatan yang diperoleh, biaya sosial dan dampkanya sekaligus penentuan besarSekaligus pertanggungjawaban dalam penggunaannya’’Saya kira perlu kembali dipikirkan bersamaSemua pihak perlu berdiskusi lagi,’’ ujarnya.

Deputi Penelitian dan Pengembangan KPK Doni Muhardiansyah menambahkan, hasil studi KPK terhadap indeks integritas daerah menunjukkan pula dugaan penyimpangan pada DAU/DAKPersoalan pengelolaan DAU/DAK ini pun menjadi perhatian KPK’’Penyimpangan DAU/DAK termasuk kasus korupsi yang menjadi penting di KPK, selain suap, gratifikasi, bantuan sosial dan lainnya,’’ pungkasnya.

Untuk itulah, lanjut dia, KPK terus berupaya memberikan terobosan dalam pengelolaan DAU/DAK yang idealSebab, persoalan penyimpangan DAU/DAK ini masih terbilang kurang banyak dipahamiBerbeda dengan kasus korupsi konvensional, seperti suap, mark up atau gratifikasi(rko)

BACA ARTIKEL LAINNYA... KNPI Harus Bawa Manfaat Nyata bagi Masyarakat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler