Keterbatasan fisik bukan halangan untuk mengukir prestasi. Atlet difabel David Jacobs membuktikan kerja kerasnya. Dia sukses menjadi pahlawan dan menyudahi puasa medali bagi keikutsertaan Indonesia dalam Paralympic Games.
MUHAMMAD AMJAD, Jakarta
SEPINTAS tak ada yang aneh pada tubuh David Jacobs. Bahkan, saat bermain tenis meja kesukaannya, dia tampak lebih mahir dibanding kebanyakan orang. Pukulannya akurat, sesekali dengan smes tajam yang sulit dijangkau musuh.
Tapi, bila diamati secara seksama, ada anggota tubuhnya yang kurang. Tangan kanannya cacat. Kondisinya lebih kecil dan tak bisa digerakkan dengan sempurna. Cacat fisik itu dialami pria 35 tahun tersebut sejak lahir.
Namun, David bukan sosok yang gampang menyerah. Sebaliknya, dia merupakan contoh orang dengan keterbatasan fisik yang mampu melampaui kemampuan orang-orang normal.
Ya, David belum lama ini sukses mengharumkan nama bangsa lewat kepiawaiannya bermain tenis meja saat berlaga dalam Paralympic London 2012, 29 Agustus"9 September lalu. Dalam olimpiade antaratlet difabel (cacat fisik) sedunia itu, David meraih medali perunggu di cabor tenis meja tunggal untuk atlet difabel tingkat 10 (ukuran difabilitas paling minim yang telah ditentukan tim dokter Paralympic).
"Saya sangat senang bisa memberikan kontribusi kepada negara meski kondisi fisik saya terbatas. Apalagi, Paralympic ini setingkat Olimpiade, tapi untuk orang yang memiliki kekurangan fisik seperti saya," tutur David saat ditemui Jawa Pos Minggu lalu (9/9).
Yang lebih membanggakan, David adalah atlet Indonesia pertama yang meraih medali dalam event olahraga sejagat empat tahun sekali tersebut. Menurut Asisten IV Kemenpora Joko Pekik Irianto, selama Indonesia tampil dalam Paralympic Games, baru kali ini ada atlet yang mampu memperoleh medali. "Benar, ini menjadi prestasi pertama bagi Indonesia sejak mengikuti Paralympic Games beberapa tahun lalu," ujarnya.
Perjuangan David untuk meraih medali perunggu itu tidak mudah. Selain melakukan berbagai persiapan sejak lama, dia harus menghadapi lawan-lawan dari banyak negara.
Dalam persiapan, David mesti mengikuti pemusatan latihan nasional (pelatnas) Paralympic di Solo, Jawa Tengah. Dia juga melakukan latihan-latihan sendiri secara intensif. Total, untuk persiapan ke London, Inggris, tersebut, dia memerlukan waktu sekitar lima bulan.
"Untuk bisa seperti ini, saya harus berlatih keras layaknya atlet normal. Hampir setiap hari. Hari libur pun kadang saya pakai untuk latihan ringan," ucap ayah satu anak yang juga pernah tampil dalam event kejuaraan nasional yang diikuti para atlet normal itu.
Di tengah keterbatasan anggaran untuk pelatnas, David beruntung masih bisa mendapat fasilitas dan latihan kelas atlet normal. Sebab, statusnya masih terdaftar sebagai atlet DKI Jakarta untuk PON XVIII Riau, sehingga dia tak harus berlatih di Pelatnas Paralympic Solo.
Karena itu, program latihan bungsu di antara lima bersaudara tersebut tak jauh berbeda dari atlet pada umumnya. Tahap-tahapnya tak berbeda jauh. Mulai persiapan umum hingga persiapan khusus sebelum turun ke Paralympic Games.
"Saya berlatih keras, dua kali sehari. Untungnya saya juga atlet PON. Jadi, program latihan yang diterapkan benar-benar membantu saya untuk bisa mencapai kondisi maksimal," terangnya.
Menurut David, usaha terberat yang harus dilalui adalah menembus kualifikasi sebelum berlaga di London. Sebab, cabor tenis meja hanya memilih 16 atlet terbaik. Bila tidak lolos kualifikasi, kandas pula impian bisa berlaga di Paralympic London.
Karena itu, David harus mengikuti kejuaraan internasional di sejumlah negara untuk mengatrol peringkatnya. Di antaranya, dia harus terbang ke Tiongkok, Thailand, Filipina, Ceko, dan Inggris untuk mengumpulkan poin demi poin. "Dari hasil kejuaraan-kejuaraan itulah saya bisa masuk tiga besar dunia," terang suami Jeany Palar tersebut.
Berkat peringkatnya yang tinggi itu pula, David tak harus mengalahkan banyak lawan sebelum memasuki babak penentuan. "Posisi saya sebagai unggulan membuat peluang meraih medali terbuka lebar," lanjutnya.
Namun, tidak berarti semua berjalan lancar-lancar saja. David harus bekerja keras agar bisa mengikuti seri kejuaraan di Eropa dan Asia tersebut. Dia harus mendapat dana besar dari sponsor. Sebab, pemerintah tak memberikan dana sedikit pun kecuali di pelatnas.
Berbekal statusnya sebagai mantan atlet nasional, putra pasangan Jan dan Neeice Jacobs itu pun nekat membuat proposal. Dia kemudian menemui orang-orang yang dikenal memiliki komitmen untuk memajukan olahraga Indonesia.
"Saya beruntung punya banyak teman yang mau mensponsori. Mereka tidak ragu membantu saya. Karena itu, saya juga tidak ingin mengecewakan mereka," tutur PNS (pegawai negeri sipil) di Disorda DKI Jakarta tersebut.
Dari sejumlah kejuaraan yang diikuti itu, dia jadi tahu peta kekuatan lawan. "Saingan terberat tetap dari Tiongkok dan Ceko. Peringkat mereka di atas saya. Medali perunggu Paralympic ini sesuai dengan prediksi saya," terangnya.
David mengungkapkan, sebenarnya prestasi Indonesia bisa lebih dari satu medali perunggu yang dia raih. Namun, minimnya atlet yang dikirim pemerintah membuat raihan prestasi Indonesia mentok.
Lelaki kelahiran Makassar itu menyebutkan, perhatian pemerintah memang kurang untuk ajang yang melibatkan para difabel. Kalah oleh perhatian yang ditunjukkan pemerintah Malaysia dan Thailand yang mengirimkan atlet sebanyak-banyaknya. Dalam event tersebut, Thailand mengirimkan 30 atlet, Malaysia 20-an atlet, sedangkan Indonesia hanya mengirim empat atlet.
"Banyak atlet difabel Indonesia yang hebat-hebat. Beri mereka kesempatan untuk bisa turut membela negara dan mengharumkan nama bangsa," tegasnya.
Dengan prestasi yang diraih dalam olahraga, David yakin orang-orang yang memiliki kekurangan fisik mampu menunjukkan kelebihannya. Dia mengaku, dari tenis meja, dirinya bisa menghidupi keluarga.
"Kami tidak ingin dianggap sebagai beban masyarakat. Kami justru ingin menunjukkan bahwa orang cacat juga bisa berprestasi bila dipercaya negara," ungkapnya.
Dengan usia yang tak muda lagi, David berusaha untuk tetap bisa mempertahankan level permainannya. Targetnya, dia ingin tampil dalam Paralympic Rio De Janeiro, Brasil, pada 2016. (*/c5/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyinggahi Wae Rebo, Desa di NTT Peraih Penghargaan Tertinggi UNESCO (1)
Redaktur : Tim Redaksi