jpnn.com, JAKARTA - Industri hulu migas dunia saat ini sedang mengalami masa suram. Pandemi Covid-19 telah membuat konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) melemah. Harga minyak pun ikut terperosok.
Imbasnya, investasi hulu migas dunia turun hingga USD 125 miliar.
BACA JUGA: Soal Cadangan Migas yang Besar, Dwi Soetjipto: Kegiatan Eksplorasi Masif Bisa Ditingkatkan
Direktur Penelitian Asia Pasifik Wood Mackenzie, Andrew Harwood mengatakan perlu ada upaya lebih agar Indonesia bisa lebih kompetitif dalam sektor migas.
“Pemberian insentif diharapkan tidak berhenti sampai di situ saja karena negara-negara lain terus melakukan pengembangan perbaikan iklim investasi,” kata Andrew dalam FGD Ekonomi dan Keuangan 2020 bertema Strategic Collaborative Synergy and Effective Fiscal Terms yang diadakan secara daring.
BACA JUGA: Tak Masalah Masuk Neraka, Nikita Mirzani: Ketemu Sama Banyak Artis
Menurut Andrew, nilai fiscal attractiveness (daya tarik fiskal) Indonesia berada jauh di bawah Malaysia, tapi masih di atas Irak dan Brasil.
Hanya saja, Irak dan Brasil lebih menarik bagi investor dibanding Indonesia.
BACA JUGA: Ingat! 3M dan 3T untuk Memutus Penularan COVID-19
Akumulasi prospek migas disebut Andrew sebagai salah satu faktor yang turut memengaruhi ketertarikan investor, selain fiscal term yang berlaku.
“Pada 2010, Brasil menjadi tempat investasi favorit dan ini menarik bagi investor berskala besar. Begitu pula dengan Irak. Meski kebijakan fiskal yang berlaku tidak begitu baik, prospek migas di Irak terbilang bagus,” kata Andrew.
Pola pikir investor saat ini tidak hanya fokus pada upaya peningkatan produksi migas.
Tren tersebut perlahan berubah karena perusahaan migas mulai melihat segi pendapatan yang bisa dihasilkan dari produksi migas.
Melihat kondisi tersebut, Andrew menilai, pemerintah perlu memperhatikan sejumlah aspek lain, seperti split migas, daya tarik subsurface, serta penyediaan bagi hasil yang menarik untuk investor.
“Investor berpandangan, kerugian di suatu blok bisa diimbangi dengan produksi dari blok lain. Hal ini yang tidak ada di Indonesia sehingga perusahaan sulit membuat basis di Indonesia,” kata Andrew.
Selain itu, pemerintah harus memperhatikan regulasi lain, terutama terkait persoalan perizinan yang selama ini dianggap menjadi hambatan karena berbelit-belit.
Ke depan, pemerintah diharapkan akan bisa memangkas kembali waktu perizinan di sektor hulu migas.
Ambisi pemerintah untuk mewujudkan target produksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 BSCFD pada tahun 2030 dinilai Andrew sebagai kondisi yang tergolong menarik.
Dia berpendapat, program tersebut kemungkinan akan menarik kehadiran banyak investor di Indonesia meski dengan nilai investasi yang masih tergolong kecil.
Perusahaan migas kecil ini memiliki keterbatasan dana untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan melaksanakan Enhanced Oil Recovery (EOR), sehingga membutuhkan dukungan fiskal dari pemerintah.
Dengan adanya dukungan fiskal, Indonesia akan menciptakan iklim investasi yang lebih menarik di industri hulu migas dan lebih atraktif dibanding negara lain.
“Pemerintah dan regulator harus aktif untuk menciptakan keseimbangan antara risiko yang dihadapi investor dalam melakukan kegiatan usaha hulu migas dengan benefit yang akan mereka terima,” kata Andrew.
Di acara yang sama, Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA), Ronald Gunawan mengungkapkan pemerintah perlu memberikan sinyal positif kepada para investor terutama dalam hal menjaga kesucian kontrak.
Upaya yang dapat dilakukan berupa merevisi peraturan menteri ESDM yang kontradiktif dengan kontrak-kontrak PSC.
Selain itu, perlu ada reformasi regulasi yang bertujuan untuk meningkatkan competitiveness, seperti yang terjadi di North Sea, Australia, dan Mesir.
“Untuk Indonesia, prospektivitas, kemudahan dalam berbisnis dan fiscal attractiveness merupakan poin-poin kritikal yang diambil investor ketika memutuskan untuk menanamkan investasinya,” tandas Ronald.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy