Deddy Sitorus Pertanyakan Kemampuan Garuda Indonesia Bertahan di Tengah Badai Corona

Senin, 27 April 2020 – 18:24 WIB
Pesawat Garuda Indonesia mendarat di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten. Foto: Ricardo/JPNN.Com

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Sitorus, menyoroti kinerja PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) di tengah pandemi Covid-19. Menurut Deddy, tantangan yang dihadapi Garuda Indonesia sangat besar di tengah badai Covid-19 yang melanda Indonesia dan dunia.

Deddy menjelaskan, tantangan berat itu diawali dengan terhentinya layanan penumpang ke 8 daerah Hub Garuda setelah berlakunya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Selain itu, layanan Garuda pada jemaah umrah dan haji juga berhenti.

BACA JUGA: Mantan Dirut Garuda Dituntut 12 Tahun Kurungan

“Revenue perusahaan Garuda Indonesia dari layanan penumpang diperkirakan terpangkas 55 persen sampai akhir tahun 2020,” kata Deddy, melalui pernyataan tertulis, Senin (27/4).

Wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Utara itu mengungkapkan, berdasarkan data yang disampaikan kepada Komisi VI DPR RI, pengeluaran tinggi Garuda Indonesia di antaranya adalah biaya operasional, biaya sewa pesawat, biaya overhead yang tinggi, serta biaya finansial yang tinggi.

BACA JUGA: Garuda Indonesia Terbebani Utang, Makin Merana Dihajar Corona

“Biaya sewa pesawat itu tinggi jika tidak ada pengurangan jumlah dan nilai kontrak pesawat di masa pandemi Covid-19,” ungkap dia.

Deddy melanjutkan, turunnya ekonomi makro dan ekonomi mikro akan semakin memperburuk kondisi Garuda Indonesia meski Covid-19 sudah berlalu. Alasannya adalah beban utang yang jatuh tempo pada 2020, di antaranya adalah SUKUK sebesar USD 500 juta yang jatuh tempo pada Juni 2020.

BACA JUGA: Gaji Pegawai Garuda Indonesia Dipotong, ada yang Sampai 50 Persen

Ia memperkirakan Garuda Indonesia membutuhkan setidaknya USD 600 juta untuk menopang kelangsungan hidupnya sampai akhir tahun 2020. Angka perhitungan tersebut di luar kebutuhan pembayaran SUKUK pada tahun ini sebesar USD 500 juta.

“Total dibutuhkan USD 1,1 miliar. Major airlines di dunia telah mendapatkan suntikan dana dari pemerintahnya untuk penyelamatan hidup airlines tersebut. Apakah Garuda siap untuk ini?,” ujar Deddy.

Pandemi Covid-19 mengguncang industri penerbangan di seluruh dunia. Dalam catatannya, ungkap Deddy, ada 117 airlines dunia yang men-grounded 90 persen fleet-nya, dan 167 airlines lainnya men-grounded 40 persen fleet yang mengakibatkan jumlah traveler merosot 87 persen.

Diperkirakan volume penerbangan akan kembali normal 3-5 tahun pasca Covid-19 dan harga akan kembali kuat satu tahun pasca Covid-19.

“Segmen Business akan lebih cepat pulih dibanding segmen leisure. Akan ada perubahan demand layanan vs cost pasca Covid-19, dimana airlines harus sanggup bertransformasi diri. Apakah Garuda siap untuk ini?” ungkap Deddy. (dil/jpnn)


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler