Deddy Yevri Sitorus Meminta Distribusi Vaksin Covid-19 Dipantau Menggunakan Teknologi 

Belajar dari Kasus Alat Tes Bekas dan Jual Beli Vaksin Secara Ilegal

Kamis, 27 Mei 2021 – 16:00 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus. Foto: dok pribadi for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus meminta pemerintah khususnya Kementerian BUMN agar tidak sekadar melakukan pengadaan vaksin Covid-19.

Namun, legislator dari Kalimantan Utara itu meminta pemerintah khususnya kementerian yang dipimpin Erick Thohir tersebut bisa memastikan vaksin corona yang dibeli benar-benar terdistribusi kepada masyarakat yang membutuhkan.

BACA JUGA: Deddy Sitorus Desak Penegak Hukum Tindak Perusahaan Pencemar Sungai Malinau

Deddy menyampaikan itu merespons kejadian penggunaan alat tes Covid-19 bekas di Bandara Internasional Kualanamu, Sumatera Utara, serta adanya oknum dokter di Medan, Sumut, dan DKI Jakarta, yang mengambil jatah vaksin gratis untuk masyarakat kemudian diperjualbelikan secara ilegal.

Menurut Deddy, yang pertama harus dilakukan adalah pastikan terlebih dahulu kualitas vaksin Covid-19 yang dibeli tersebut. Dia mengingatkan jangan sampai ada modus pemalsuan vaksin corona seperti kasus alat tes Covid-19 di Kualanamu.

BACA JUGA: Deddy Sitorus Kecam Tindakan Berlebihan Penjaga Perbatasan Malaysia kepada Warga Nunukan

Sebab, ujar Deddy, akan sangat memalukan apabila terjadi kasus terkait vaksin Covid-19 yang ternyata oleh oknum tertentu diisi air mineral. "Ini bukan tidak mungkin terjadi," tegas Deddy Yevri Sitorus, Kamis (27/5).

Kedua, Deddy mempertanyakan kejelasan program pemerintah untuk memantau secara ketat distribusi vaksin Covid-19. Pria asal Pematang Siantar, Sumut, itu mengungkapkan pemerintah pernah berjanji bahwa setiap vaksin memiliki barcode tertentu.

BACA JUGA: Kasus Penjualan Vaksin Secara Ilegal jadi Bahan Evaluasi, Pelaku Harus Diberi Sanksi

Nah, ujar Deddy, jika itu dilakukan dengan benar, maka tidak akan mungkin ada kejadian dokter mengambil jatah vaksin gratis untuk masyarakat lalu diperjualbelikan secara ilegal, yang kemungkinan itu dibeli oleh warga yang kaya raya.

"Kalau ada barcode itu, kenapa bisa terjadi kejadian seperti dokter di Medan itu? Harusnya vaksin buat lapas, eh larinya ke mana," ungkapnya.

Oleh karena itu, Deddy menegaskan harusnya vaksin ini termonitor terus, apabila sudah diberi barcode. "Buat apa pakai barcode, kalau tidak bisa memonitor vaksinnya. Pakai teknologi bisa, kok, itu," kata Deddy.

Ketiga, Deddy meminta sosialisasi dan edukasi mengenai vaksin Covid-19 makin diperkuat. Sebab, ada beberapa jenis vaksin Covid-19 yang masuk ke Indonesia. Seharusnya, tenaga kesehatan (nakes) dan masyarakat sudah bisa memahami jenis dan karakter vaksin-vaksin tersebut.

"Misalnya, kita (Indonesia) pakai (vaksin Covid-19 buatan) Sinovac, orang banyak bilang kurang efektif. Selain itu, vaksin merek lain, karakternya seperti apa? Ini perlu edukasi yang jelas," tuturnya.

Untuk memahami yang dia maksud, Deddy mengatakan seharusnya masyarakat dan nakes bisa mengerti berbagai kasus di negara lain ketika ada korban jatuh akibat memakai vaksin merek Pfizer dan Moderna. Selain itu, harus diketahui juga bahwa bila ada kondisi tertentu yang mana seseorang tak boleh mendapatkan vaksin.

"Karena ada kejadian orang punya darah tinggi, dia memaksa agar divaksin efeknya dia jadi lumpuh. Ini kan bahwa selama ini ada inkonsistensi soal edukasi mengenai vaksin ini. Kok bisa nakesnya tak tahu?" kata dia.

Deddy juga meminta agar ada kejelasan soal vaksinasi mandiri. Sebab, sejauh ini, soal jumlah vaksin mandiri yang didatangkan tak pernah jelas. Pihaknya mendapat banyak laporan dari masyarakat yang mempertanyakan itu.

Menurutnya, hal itu menjadi penting karena banyak juga warga masyarakat yang ingin mendapatkan vaksin tanpa menunggu vaksinasi gratis dari negara. Solusinya, kata dia, adalah membeli sendiri lewat program vaksinasi mandiri.

"Harus jelas, jumlah vaksinnya berapa banyak, dan harga yang sebenarnya itu berapa. Supaya jangan membingungkan masyarakat. Sehingga masyarakat bisa mengajukan diri untuk vaksin mandiri kalau tak kuat menunggu yang gratis," katanya.

Deddy mengaku semua hal tersebut sudah disampaikannya saat rapat kerja Komisi VI DPR dengan PT Biofarma, PT Kimia Farma, dan PT Indofarma, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/5).

Sebagai legislator yang mewakili Dapil Kaltara, Deddy juga sempat bicara soal pentingnya memperhatikan vaksinasi di wilayah yang perbatasan Indonesia itu.

Sebab, ujar Deddy, Provinsi Kaltara berbatasan dengan tiga negara, sehingga mobilitas orang keluar dan masuk sangatlah tinggi.

Tidak mengherankan apabila sudah ada laporan mengenai warga yang terjangkiti virus mutasi dari India.

 "Jadi, tolong diperhatikan daerah transit seperti ini untuk mendapatkan prioritas vaksinasi," pungkas Deddy Yevri Sitorus. (boy/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler