jpnn.com, JAKARTA - Rapat pleno yang dihelat pada Selasa (21/11) malam sebenarnya menjadi momentum bagi Partai Golkar untuk mendepak ketua umumnya, Setya Novanto.
Namun, Golkar ternyata tak mengambil opsi itu karena kuatnya adu kepentingan di internal.
BACA JUGA: Harapan Pak JK pada MKD Terkait Kasus Setnov
Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti mengatakan, menyelamatkan nama besar Golkar jauh lebih penting ketimbang tetap berkutat dengan urusan Novanto.
”Menurut saya, saat ini tidak ada pemisahan yang jelas antara pendapat individu dengan kepentingan organisasi. Sebab, masyarakat menjadi sulit melihat pemisahan antara Setnov dengan Golkar,” ujar Ray dalam diskusi bertajuk Mencari Pemimpin Baru Partai Golkar di kantor DPP Kosgoro 1957, Rabu (22/11).
BACA JUGA: Ketua DPW PKB Bertemu Dedi Mulyadi, Semoga Berkah
Menurut Ray, rapat pleno itu seharusnya tidak hanya sekadar pelimpahan kewenangan dari Setnov kepada Idrus Marham sebagai Plt ketum.
Golkar, sambung Ray, seharusnya juga bisa menunjukkan posisi bahwa organisasi tak terkait dengan tindakan individu Novanto.
BACA JUGA: Kisah Setnov, Jago Lobi, Pintar Cari Uang untuk Golkar
”Jadi, harusnya bukan hanya pelimpahan, tapi juga menonaktifkan supaya Golkar punya komitmen kuat di pemberantasan korupsi,” kata Ray.
Di tempat yang sama, Ketua DPD Golkar Jabar Dedi Mulyadi berbicara keras terkait posisi Partai Golkar saat ini. Menurut dia, elektabilitas Golkar di beberapa daerah menurun.
Misalnya di wilayahnya dari 18 menjadi 12 persen karena kasus Pilgub DKI Jakarta 2017.
Bahkan, di DKI Jakarta sendiri elektabilitas Golkar di bawah tiga persen.
”Dulu, Golkar hampir dibubarkan. Kami survive. Kalah sekali (Pemilu 1999) lalu menang (2004). Partai Golkar tumbuh karena menerapkan demokratisasi maksimal,” ujar Dedi.
Persoalan saat ini muncul karena ada ironi terkait komitmen Partai Golkar dalam mendukung Presiden Joko Widodo.
Komitmen itu, menurut Dedi, adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat.
Namun, seharusnya Partai Golkar bisa melakukan kreasi demi menumbuhkan elektabilitas.
”Ketika Golkar mendukung Pak Jokowi harusnya adaptif. Turun ke daerah, kebijakan pemerintah dikreasi, keluar gagasan dalam karakter Partai Golkar,” tegasnya.
Dia mengatakan, persoalan Novanto jauh lebih kecil dibandingkan masalah Golkar pada 1998.
“Yang harus dilakukan Partai Golkar adalah survei siapa yang diinginkan publik. Kalau Golkar sebagai pemilik rumah memilih berbeda dari publik, ya, tunggu kematian,” kata Dedi.
Sementara itu, Koordinator Generasi Muda Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengamini pernyataan Ray dan Dedi.
Dia menilai persoalan di internal Golkar karena adanya kepentingan pribadi atau kelompok yang muncul.
Persoalan itu lantas dibungkus seolah-olah menjadi kepentingan partai.
”Penunjukan Plt memperlihatkan seakan-akan masih ada kepentingan Novanto. Ini kan semua berdasar kepentingan pribadi dan kelompok,” kata Doli.
Menurut Doli, persoalan lain adalah terkait inkonsistensi. Sempat ada komitmen untuk menonaktifkan Setnov dari para pimpinan DPD I.
Namun, komitmen itu menguap. Hal ini seharusnya tidak terulang lagi.
Sebab, Partai Golkar tidak memiliki waktu banyak untuk bangkit kembali.
”Harusnya DPD I, Dewan Pakar maju terus, jangan mundur lagi,” tegas Doli. (bay)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Setnov, Jualan Semen, Bantu Cuci Mobil Hayono Isman
Redaktur & Reporter : Ragil