jpnn.com, JAKARTA - Eksistensi hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terus dipertaruhkan dalam menghadapi tantangan di Laut Natuna Utara. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang mengintegrasikan prinsip-prinsip pertahanan dan diplomasi.
Menurut Laksamana Muda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, Senior Advisory Indo-Pacific Strategic Intelligence (IPSI), strategi tersebut adalah Defense Diplomacy.
BACA JUGA: BMKG Minta Masyarakat Mewaspadai Gelombang Tinggi 6 Meter di Laut Natuna Utara
"Strategi ini menjadi instrumen krusial dalam menjaga keutuhan wilayah Indonesia, dan membangun hubungan yang kuat dengan negara-negara tetangga," tegas Dr. Surya Wiranto.
Penegasan tersebut disampaikan dalam Kuliah Pakar - Prodi Keamanan Maritim di Universitas Pertahanan Republik Indonesia, Senin (04/03), bertajuk "Dinamika Laut China Selatan Dalam Perspektif Keamanan Maritim: Tantangan, Peluang, dan Kolaborasi Regional".
BACA JUGA: Program ASN Berbagi, Pemkab Natuna Salurkan Bantuan 1,8 Ton Beras ke Warga
Pakar lain yang turut berpartisipasi dalam acara tersebut antara lain Pengamat maritim dari IKAL Strategic Centre DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar, dengan makalah "Klaim Ten Dash Line China Dari Perspektif Kedaulatan Indonesia".
Hadir juga Johanes Herlijanto, Ph.D (Dosen Universitas Pelita Harapan dan Ketua Forum Sinologi Indonesia) dengan makalah "China, Laut China Selatan, dan Laut Natuna Utara." Moderator acara adalah Ristian Atriandi Supriyanto, M.Sc (Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia).
BACA JUGA: Polisi Tetapkan WN Vietnam Tersangka Penangkapan Ikan Ilegal di Perairan Natuna Utara
Lebih lanjut, Laksamana Muda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto membawakan makalah berjudul “Pertaruhkan Eksistensi Hak Berdaulat NKRI di Laut Natuna Utara.
Dalam hal ini dia menekankan bahwa Strategi Defense Diplomacy juga harus melibatkan kerja sama dalam bidang pertahanan.
"Hanya dengan strategi yang matang dan kolaborasi yang kuat, Indonesia bisa memastikan keamanan dan stabilitas wilayahnya, serta memperkuat posisinya sebagai pemain kunci di kawasan Asia Tenggara."
Sementara, DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menjelaskan bahwa Laut Cina Selatan merupakan perairan penting bagi keamanan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara dengan luas sekitar 3.500.000 kilometer persegi.
"Laut ini merupakan jalur pelayaran internasional yang menghubungkan Asia dengan Eropa dan Amerika, dengan satu per tiga transportasi maritim dunia melewati wilayah ini, membawa perdagangan senilai US$3 triliun atau 40 ribu triliun rupiah per tahun," jelas DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.
Pada kesempatan yang sama, Johanes Herlijanto, Ph.D, mengatakan sejarah hubungan maritim antara Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok (RRC) memiliki tantangan kompleks terkait klaim atas Laut China Selatan (LCS), termasuk sebagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU).
"Maka penting bagi Indonesia untuk memperkuat penegakan hukum di wilayah kedaulatannya, terutama di LCS yang merupakan bagian penting dari hak berdaulat Indonesia. Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan TNI Angkatan Laut (AL) memiliki peran krusial dalam menjaga keamanan dan integritas wilayah perairan Indonesia," pungkasnya. (flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi