jpnn.com, JAKARTA - Ketua DPR RI, Setya Novanto menerima Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris di Komplek DPR Senayan Jakarta, Selasa (14/3).
Kepada Novanto, Fachmi curhat soal sejumlah persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan selama ini. Masalah itu mulai dari adanya mismatch atau difisit sekitar Rp 6 triliun rupiah setiap tahunnya dan diprediksi kembali terjadi di 2017.
BACA JUGA: Ssttt... Ada Rumor Gusur Setnov dari Ketum Golkar
Novanto berjanji kepada Fachmi akan meminta komisi terkait dalam hal ini, Komisi IX untuk membicarakan masalah defisit itu langsung ke Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan.
"Jika diperlukan pimpinan DPR akan pro-aktif memfasilitasi dengan dua menteri tersebut. Karena pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat," jelas dia.
BACA JUGA: Inilah Kekecewaan Politikus Golkar soal Dakwaan e-KTP
Novanto juga menyampaikan ke Fachmi soal adanya pengaduan kepada DPR terkait lambannya pelayan rumah sakit terhadap peserta BPJS Kesehatan, beredarnya kartu palsu serta penanganan peserta KIS di daerah yang tidak ada fasilitas kesehatannya.
Menurut Fachmi, ada sejumlah persoalan keuangan yang menjadi penyebab banyaknya aduan yang terjadi, termasuk ke DPR RI.
BACA JUGA: Priyo Doakan Papa Novanto Kuat Hadapi Kasus e-KTP
"Berdasarkan hitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional, iuran jaminan kesehatan untuk rakyat miskin atau penerima bantuan iuran (PBI) seharusnya sekitar Rp 36 ribu per orang. Sementara yang ditanggung negara baru Rp 23 ribu per orang, sehingga ada kekurangan sekitar Rp 13 ribu per orang tiap bulannya," jelasnya.
Tak hanya itu, lanjut dia, masalah juga terjadi pada peserta mandiri mulai kelas I, II dan III. "Hanya kelas I saja yang sesuai hitungan akademis/aktuaria. Untuk kelas II dan III masih jauh dari angka iuran ideal. Inilah sumber utama masalah mismatch atau defisit yang terjadi," sambung Fachmi.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, Novanto meminta BPJS Kesehatan melakukan sejumlah hal. Mulai dari memperbaiki manajemen, menambah tenaga verifikator, serta pro aktif menarik peserta baru dari kelompon mandiri.
"Jika diperlukan dapat bekerja sama dengan pihak swasta, misalnya dengan pihak supermaket dan swalayan dalam menggaet peserta," sambung dia.
Untuk menutup mismatch, Novanto menyimak secara khusus penjelasan Fachmi terkait dengan pengalaman di negara lain. Apalagi untuk menaikkan iuran peserta mandiri dikhawatirkan akan memberatkan masyarakat.
Alternatif pemanfaatan adalah mengalokasikan secara khusus hasil cukai rokok. Alternatif ini menjadi perhatian serius Novanto.
Di beberapa negara seperti Thailand dan Filipina anggaran untuk jaminan sosial kesehatan diambil dari dana cukai rokok. Sebab, rokok dapat membahayakan bagi kesehatan, sehingga cukai yang diperoleh dari masyarakat dikembalikan untuk kesehatan rakyat.
"Cukai rokok ini dikenal sebagai sin tax atau "pajak dosa"," urai Fachmi.
Di Thailand pemanfaatan sin tax ini hampir 100 persen untuk biaya pembangunan kesehatan. Di Filipina mencapai hampir 85 persen.
Nah, lanjut Fachmi, di Indonesia, walau sudah mulai ada, namun tidak secara khusus dianggap sebagai sin tax.
"Sin tax ini dianalogikan sama persis dengan dana reboisasi hutan. Artinya ada biaya yang dialokasikan khusus untuk menanam hutan akibat pembabatan hutan. Demikian juga prinsip cukai rokok, harusnya menjadi biaya yang dialokasikan khusus untuk program kesehatan akibat dampak kesehatan karena rokok," jelas dia.
Novanto menyatakan dukungannya apabila cukai rokok dialokasikan khusus menjadi sumber dana bagi pembayaran iuran peserta miskin agar sesuai hitungan akturia.
"Apabila hasil cukai rokok dapat dialokasikan maka hal ini tidak mengganggu dana sektor kesehatan yang sudah dipatok sebesar 5 persen dari APBN sesuai UU. Malahan akan menambah dana sektor kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat," demikian Novanto yang juga Ketua Umum DPP partai Golkar ini. (sam/rmol)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPP Golkar: Jangan Ada Yang Memancing di Air Keruh
Redaktur & Reporter : Adil