jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR Muhammad Misbakhun kembali memberikan peringatan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Kali ini peringatan yang disampaikan politikus Partai Golkar itu terkait persoalan biaya utang.
BACA JUGA: Bu Sri Mulyani Sodorkan Sinyal Tren Pembalikan Ekonomi
Berbicara dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Ani dalam rangka membahas asumsi dasar makro RAPBN 2021, Rabu (2/9), Misbakhun menekankan soal pentingnya pemerintah menekan biaya utang. Sebab, kata dia, pemerintah sedang membutuhkan banyak uang sehingga biaya utang harus dihemat.
Menurut Misbakhun, beban APBN makin besar karena defisit yang merupakan imbas situasi pandemi corona. "Defisit ini kalau makin melebar maka biaya APBN kita makin besar," katanya.
BACA JUGA: Koreksi Misbakhun untuk Cara Pemerintah Atasi Krisis Ekonomi Akibat Pandemi
Misbakhun menjelaskan bahwa pajak merupakan komponen lain untuk menambal defisit APBN selain utang. Hanya saja, politikus asal Pasuruan itu pesimistis pemerintah mampu mencapai target penerimaan perpajakan.
Apalagi, kata dia, secara histori selama sepuluh tahun terakhir, pemerintah tidak memiliki reputasi mencapai target pajak. "Apalagi dalam situasi seperti ini, pasti tidak tercapai lagi," tegasnya.
BACA JUGA: Misbakhun Minta Para Menteri Pahami Narasi Besar dalam Pidato Jokowi
Oleh karena itu Misbakhun mengingatkan pemerintah pintar berhemat. Ia menegaskan penerbitan surat utang harus diiringi upaya menghemat komponennya.
"Mau tidak mau kita harus mengurangi komponen biaya penerbitan surat utang pemerintah," katanya.
Lebih lanjut Misbakhun menyinggung tentang konsep burden sharing atau berbagi beban antara pemerintah dengan Bank Indonesia (BI) dalam menambal defisit APBN. Dia lantas mempertanyakan apakah konsep burden sharing hanya untuk APBN 2020, atau berlanjut hingga tahun depan.
Misbakhun berpandangan peran Menkeu Sri Mulyani sebagai otoritas fiskal dalam penerapan burden sharing masih lebih menonjol ketimbang BI selaku pemegang kewenangan moneter.
"Instrumen kebijakan saat ini yang digunakan untuk mengatasi pembiayaan lebih heavy pada kebijakan fiskal. Harus dioptimalkan kebijakan moneter sebagai instrumen mengatasi kondisi ekonomi yang sedang berat saat ini," ujar Misbakhun.(boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy