Defisit Meningkat? Tenang, Masih Aman

Senin, 28 Maret 2016 – 07:20 WIB
Foto: dokumen Indo Pos

jpnn.com - JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memprediksi defisit transaksi berjalan menjadi 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Itu berarti naik 0,6 persen dari defisit tahun lalu yang sebesar 2 persen PDB.

Meski demikian, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menilai kenaikan defisit sebesar 0,6 persen masih aman. Bahkan, jika defisit melebar menjadi 3 persen pun, Perry menilainya masih aman.

BACA JUGA: Inilah Tipe Mobil MPV yang Masih Laris

Pria kelahiran Sukoharjo itu menilai wajar jika peningkatan aktivitas pembangunan infrastruktur berdampak kenaikan impor, yang pada gilirannya mengerek defisit. Sebab, pembangunan infrastruktur yang masif menuntut tingginya impor bahan baku dan barang modal lain.

”Belanja pemerintah meningkat, investasi pemerintah meningkat, tentu ada dampaknya terhadap transaksi berjalan,” katanya.

BACA JUGA: Kejar Swasembada Pangan, tapi Lahan Pertanian Desa Menyusut

Meski defisit diprediksi melebar, Perry menjamin otoritas fiskal dan moneter akan berkoordinasi untuk menjaga keseimbangan kondisi perekonomian. Harapannya, perekonomian tidak overheating gara-gara kenaikan harga komoditas yang masuk komponen inflasi inti, kelebihan demand konsumsi, serta defisit transaksi berjalan yang besar.

Untuk menghindari perekonomian overheating, BI mendorong pemerintah agar mempercepat reformasi struktural di bidang pendapatan dan pengeluaran negara serta meningkatkan investasi pemerintah, pasokan komponen inflasi inti, dan ekspor. Dengan demikian, ekonomi Indonesia ke depan bisa lebih stabil.

BACA JUGA: Tips Sukses Berdagang ala Politikus PKS

”Kami belum melihat adanya suatu bahaya dalam stabilitas makroekonomi,” kata Perry.

Sementara itu, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) optimistis bahwa upaya pemerintah melakukan reformasi struktural dan menggenjot proyek infrastruktur dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini. Director for Economic Analysis ADB Edimon Ginting yakin bahwa penurunan potensi pertumbuhan ekonomi gara-gara anjloknya harga komoditas global hanya bisa diselesaikan dengan reformasi struktural.

”Efek reformasi di sistem fiskal dan moneter hanya satu–dua tahun. Reformasi struktural itu obat sebenarnya. Sudah terbukti di banyak negara,” terang dia.

Menurut Edimon, struktur Indonesia yang terdiri atas berbagai provinsi dengan permasalahan yang berbeda-beda membuat banyak persoalan menjadi lebih kompleks. Karena itu, upaya reformasi harus terus dilakukan secara berkelanjutan.

”Kita harus fokus pada investasi, baik domestik maupun asing. Selain itu, sumber pertumbuhan ekonomi kita adalah bagaimana caranya lebih produktif,” tuturnya.

ADB menilai proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih tinggi daripada prediksi IMF atau Bank Dunia. Meski demikian, ADB memprediksi nilai pertumbuhan ekonomi tidak setinggi target pemerintah di APBN, yakni 5,3–5,5 persen.

”Kita tahu, sebagian proyeksi pemerintah belum merefleksikan apa yang terjadi kini. Barangkali perlu disesuaikan karena kondisi sudah berubah,” jelasnya. (dee/c11/noe)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Blok Masela Dinilai Bisa Timbulkan Gempa Politik Berdampak Tsunami


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler