Dehumanisasi di Hari Kemanusiaan Internasional Terhadap Masyarakat Papua

Selasa, 20 Agustus 2019 – 15:55 WIB
Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani. Foto: Dokpri for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Aksi protes yang menjalar di Manokwari, Papua Barat dan di Jayapura, Papua, yang terjadi, Senin i (19/8) adalah kebebasan berekspresi dan perlawanan terhadap dehumanisasi masyarakat Papua yang berkepanjangan. Meskipun aksi pembakaran sejumlah gedung tidak dapat dibenarkan, tetapi aksi tersebut menggambarkan tentang bagaimana politik rasial yang dipelihara negara menimbulkan bahaya berkelanjutan.

Menurut Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, peringatan Hari Kemanusiaan Internasional, yang diperingati setiap 19 Agustus, dirusak oleh hilangnya kemanusiaan di tengah masyarakat dan tubuh aparat negara. Rentetan kekerasan, diskriminasi hingga intimidasi yang diterima oleh mahasiswa Papua di beberapa daerah dalam satu pekan terakhir mencederai kemanusiaan dan HAM.

BACA JUGA: Polda Jatim Usut Dugaan Tindakan Rasisme terhadap Mahasiswa Papua

Sejumlah mahasiswa Papua yang berencana melakukan aksi unjuk rasa di Malang menghadapi pengadangan, tindak kekerasan, dan pemaksaan oleh masyarakat, aparat maupun pemerintah Kota Malang (15/8/2019). Intimidasi kembali terjadi di Surabaya dengan penyerbuan asrama Papua oleh aparat kepolisian, TNI, Pol PP, dan ormas (16/8/2019).

Aksi ini menyebabkan penangkapan 43 mahasiswa Papua yang tidak terbukti bersalah.

BACA JUGA: Seperti ini Kondisi Operasional Pelabuhan di Papua PascaRusuh

BACA JUGA: Pemuda Katolik: Menerima Pancasila Sebagai Jalan Terbaik Merawat Indonesia

SETARA Institute, menurut Ismail Hasani, mengecam tindakan kekerasan terhadap warga negara yang menyampaikan aspirasi dan ekspresi politik. Menurutnya, pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi menjadi akar rantai kekerasan yang berulang kali dialami oleh masyarakat Papua, baik secara struktural, kultural, maupun langsung.

BACA JUGA: Jokowi Mendadak Panggil Staf Khusus untuk Papua Lenis Kogoya

Cerminan stigmatisasi dan rasialisme tampak pada penyebutan tertentu terhadap masyarakat Papua. Sebutan yang mereduksi posisi sebagai manusia atau dehumanisasi yang bercokol dari waktu ke waktu dan menjadi legitimasi tindakan kekerasan terhadap mereka.

Ismail secara tegas menyatakan SETARA Institute menentang dehumanisasi terhadap masyarakat Papua yang hadir akibat pelanggengan rasialisme dan stigmatisasi. Pengakuan atas hak yang melekat pada mereka sebagai manusia berada di titik rawan dan rapuh sebagaimana ditunjukkan dengan frekuensi insiden kekerasan terhadap masyarakat Papua yang tinggi sehingga melanggar kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, hak atas rasa aman, dan hak berpindah.

“Pelanggaran HAM dan kebebasan masyarakat Papua menjadi catatan buruk berkelanjutan karena kegagalan negara mencari solusi berkeadilan di Papua,” kata Ismail yang juga Pengajar Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah ini.

Lebih lanjut, SETARA Institute mendesak Kapolri Tito Karnavian untuk menindak tegas aparat yang bersikap represif terhadap mahasiswa Papua sebagai preseden pengurangan tindakan represif sekaligus memastikan kebijakan ketidakberulangan (guarantees of non-repetition). Paralel dengan langkah itu, Kapolri juga memastikan dampak ikutan dari dehumanisasi di berbagai daerah tidak menjadi pemicu kekerasan terhadap masyarakat Papua, termasuk memulihkan segera kondisi Papua pasca-aksi massa.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... PP Muhammadiyah: Ada yang Sengaja Memanfaatkan Masalah Papua


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler