jpnn.com - Pekan ini dunia mencatat sejarah penting. Bersamaan dengan pelaksanaan KTT (konferensi tingkat tinggi) G20 di Bali, jumlah penduduk dunia resmi menembus angka 8 miliar.
Angka ini menjadi historis karena menjadi bukti perkembangan jumlah manusia yang sangat pesat dalam dua abad terakhir.
BACA JUGA: Sandiaga Uno Bekali Pelaku UMKM untuk Menghadapi Tantangan Resesi Ekonomi
Jumlah itu sangatlah besar. Pertumbuhan juga sangat cepat.
Kalau Anda selesai membaca satu alenia pada tulisan ini maka bersamaan dengan itu penduduk dunia sudah bertambah 20 orang. Itulah angka pertumbuhan penduduk bumi sekarang ini.
BACA JUGA: Peringatan dari Prof Zhong Nanshan yang Perlu Diketahui Seluruh Penduduk Dunia
Sebelum Perang Dunia Pertama pada 1930-an jumlah penduduk bumi ada di angka 2 miliar.
Hanya butuh 35 tahun untuk menjadikan penduduk dunia menjadi 3 miliar.
BACA JUGA: Perempuan Muda Ditusuk Pria Mengaku Petugas Sensus Penduduk, Hati-Hati
Sejak itu penduduk dunia naik satu miliar setiap10 atau 15 tahun.
Kalau Anda masih hidup sampai 2050 maka Anda akan menjadi saksi ketika jumlah penduduk bumi menembus angka 10 miliar.
Manusia modern seperti kita dikenal sebagai ‘’homo sapiens’’ dan diyakini mulai hidup di planet bumi sejak 300 ribu tahun yang lampau.
Manusia beragama meyakini bahwa kita semua keturunan Nabi Adam. Akan tetapi, Charles Darwin mengatakan bahwa kita semua merupakan hasil evolusi, dan kakek moyang kita punya kemiripan sangat dekat dengan simpanse.
Perdebatan itu akan terus berlangsung sampai kiamat.
Dan, yang tidak kalah penting adalah bagaimana caranya memberi makan anak turun Adam atau anak turun simpanse yang jumlahnya tiap tahun makin membengkak.
Dari jumlah itu China menyumbang 1,4 miliar orang, dan menempatkan China sebagai negara dengan penduduk paling besar di dunia.
Ditambah dengan diaspora China di seluruh dunia totalnya orang China mencapai 1,5 miliar.
Kalau penduduk bumi bergandengan tangan membentuk lingkaran mengelilingi bumi, maka di setiap lima orang akan ada satu orang China.
Pemerintah China pusing tujuh keliling memikirkan bagaimana caranya memberi makan sebegitu banyak mulut tiap hari. Itulah yang dipikirkan oleh para pemimpin China sejak dulu.
Ketika Mao Zedong menjadi penguasa dan berhasil membangun rezim komunis pada 1949, penduduk dia harus memikirkan cara memberi makan 800 juta mulut.
Sistem ekonomi sosialis yang tertutup tidak mungkin bisa memecahkan persoalan perut orang China ini.
Karena itu, China harus membuka diri dan membuka hubungan dengan dunia internasional. Maka ketika Deng Xiao Ping berkuasa pada 1980-an ia mulai membuka ekonomi China untuk pasar internasional. Hanya dengan cara itu China bisa memberi makan penduduknya.
Penduduk dunia di mana pun sekarang ini cenderung makan terlalu banyak dan mengonsumsi segala hal dengan serakah.
Manusia lebih banyak mengonsumsi sumber daya alam, seperti hutan dan tanah, daripada sumber daya yang dapat diregenerasikan kembali oleh planet ini setiap tahun.
Konsumsi bahan bakar fosil yang berlebihan juga telah menyebabkan lebih banyak emisi karbon dioksida di atmosfer, dan bertanggung jawab atas pemanasan global.
Panas bumi yang terus meningkat akan menyebabkan semakin banyaknya bencana alam seperti banjir dan kebakaran hutan.
Hal ini menimbulkan ancaman krisis pangan karena tanah yang bisa ditanami semakin sempit.
Jumlah penduduk yang terus membengkak menyebabkan urbanisasi semakin tinggi. Makin banyak tanah yang dipakai untuk pemukiman dan semakin sedikit yang dipakai untuk pertanian.
Jika hal ini terus meningkat maka pada suatu titik manusia tidak akan bisa lagi memberi makan dirinya sendiri.
Salah satu pertanyaan pelik yang muncul ketika membahas persoalan kependudukan adalah tentang pengendalian angka kelahiran.
Banyak yang berpendapat bahwa jumlah kelahiran bayi harus dibatasi. Di negara-negara maju jumlah kelahiran sudah sangat rendah.
Akan tetapi, di negara-negara miskin, terutama di Afrika, tingkat kelahiran makin tinggi.
Dalam beberapa dekade ke depan Afrika dan Asia akan mempunyai jumlah penduduk paling padat.
Jumlah penduduk terbesar akan diambil alih oleh India dari China. Pasangan di China semakin enggan memiliki anak lebih satu.
Anak muda China bahkan ogah menikah maupun memiliki anak. Alasannya, karena biaya pengasuhan anak yang tinggi.
Penderitaan selama pandemi Covid-19 dan aturan ketat juga berdampak besar pada keinginan banyak penduduk China untuk memiliki anak.
Populasi China bakal mulai menyusut mulai tahun depan. Di saat yang bersamaan, India berkemungkinan besar akan menjadi negara dengan populasi terbanyak di dunia.
Di negara-negara maju banyak pasangan yang menikah dan sama-sama bekerja tapi memutuskan untuk tidak mempunyai anak.
Pasangan ini dikenal sebagai DINK, double income no kids, penghasilan ganda tetapi tidak punya anak.
Model ini menjadi tren di Eropa dan Amerika. Di negara-negara maju Asia seperti Jepang, Korea, dan Singapura hal yang sama juga menjadi tren.
Beberapa tahun terakhir muncul tren baru yang disebut sebagai ‘’sex recession’’ atau resesi seks.
Sebagaimana resesi ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan minus, resesi seks juga ditandai dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang minus.
Jepang menjadi salah satu negara yang menderita resesi seks, dan hal itu membawa pengaruh serius terhadap perekenomian negara.
Jumlah orang tua menjadi lebih besar ketimbang angkatan kerja yang produktif. Akibatnya produktivitas nasional menurun karena satu angkatan kerja produktif harus menanggung sedikitnya dua orang pensiunan yang sudah tidak produktif.
Itulah yang menyebabkan Jepang sekarang menjadi salah satu negara dengan defisit anggaran yang besar.
Anak-anak muda Jepang enggan menikah dalam usia dini. Kalau kemudian menikah mereka memutuskan menjadi DINK.
Biaya hidup yang mahal menjadi salah satu alasan. Ancaman resesi ekonomi mungkin bisa diatasi dengan relatif mudah oleh pemerintah Jepang. Akan tetapi ancaman resesi seks ini bisa membuat pemerintah pusing tujuh keliling.
Hal yang sama sudah menjadi fenomena lama di Eropa dan Amerika. Negara lain di Asia yang sekarang dilanda resesi seks adalah Singapura dan Korea.
Sama dengan Jepang, dua negara itu pertumbuhan ekonominya paling stabil di Asia. Akan tetapi, biaya hidup makin mahal dan karenanya anak-anak muda enggan menikah dan tidak mau punya anak.
China dulu terkenal dengan kampanye satu keluarga satu anak, karena jumlah penduduknya yang meledak sampai 1,4 miliar jiwa.
Negara otoriter seperti China sangat mudah menjalankan program keluarga berencana semacam itu karena kontrol pemerintah yang mutlak dan ketat.
Akan tetapi, belakangan kampanye itu dikendorkan dan warga China didorong untuk mempunyai anak yang lebih banyak. Pemerintah China sudah mencabut kebijakan satu anak dan memperbolehkan sebuah keluarga punya 3 anak.
Akan tetapi, kebijakan ini tidak menarik bagi pasangan-pasangan muda.
Ledakan jumlah penduduk akan banyak terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika yang sekarang miskin.
Meskipun saat ini bumi bisa menghasilkan pasokan makanan yang cukup untuk delapan miliar orang, tetapi harus dicatat bahwa masih ada 800 juta orang yang mengalami kekurangan gizi secara kronis.
Jumlah itu terkonsentrasi di wilayah-wilayah miskin Afrika. Di wilayah itulah ledakan jumlah penduduk di masa depan akan terjadi.
Seorang rahib Kristen bernama Thomas Robert Malthus pada 1798 mengeluarkan terori bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur dan pertumbuhan produksi pangan mengikuti deret hitung.
Pada titik tertentu dunia akan kiamat akibat kepalaran masal karena dunia tidak bisa lagi memberi makan penduduknya.
Ramalan suram ini tidak terjadi, karena dunia bisa menemukan teknologi, sehingga produksi pangan bisa ditingkatkan untuk memberi makan penduduk yang terus bertumbuh.
Karena teori Malthus tidak terbukti, maka sekarang manusia cenderung ugal-ugalan dalam mengelola dunia.
Kemajuan teknologi yang makin canggih diandalkan untuk bisa mengatasi problem krisis pangan maupun krisis lingkungan. Kalau planet bumi hancur tidak bisa lagi ditinggali, maka penduduk bumi akan dibawa bertransmigrasi ke Planet Mars. Selesai. (**)
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror