Deltacron

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Senin, 10 Januari 2022 – 15:21 WIB
Warga medan positif omicron. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Dunia lelah mengejar atau dikejar virus Covid-19 dengan berbagai variannya.

Masyarakat seluruh dunia sudah dibuat kelelahan dan bosan terkurung terus-menerus selama dua tahun terakhir. Survei terbaru di Indonesia juga menunjukkan bahwa masyarakat sudah jenuh dikejar-kejar pandemi.

BACA JUGA: Ampuh Tangkal Delta, Terapi Ini Tak Berdaya Lawan Omicron

Survei yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia menunjukkan indikasi kelelahan dan kejenuhan itu. Ada empat indikator yang menunjukkan kejenuhan itu. Masyarakat yang tidak setuju pembatasan liburan natal dan tahun baru lebih besar ketimbang yang setuju pembatasan.

Ketika ditanya mengenai keharusan tes PCR sebagai syarat perjalanan, 60 persen responden menyatakan tidak setuju. Angka yang kurang lebih sama juga didapat ketika responden ditanya mengenai rencana penerapan booster vaksinasi ketiga.

BACA JUGA: Jumlah Kasus Omicron di Indonesia Sudah Sebegini

Hal yang paling mencolok adalah penolakan responden terhadap vaksinasi anak-anak usia 3 sampai 12 tahun. Hampir 70 persen reponden menolak rencana itu.

Masyarakat sudah lelah dan jenuh, tetapi varian baru terus bermunculan. Menjelang akhir tahun keadaan terlihat mulai terkendali. Namun, tiba-tiba muncul varian baru Omicron.

BACA JUGA: Kasus Omicron di Indonesia Terus Meningkat, Kemenkes: Kita Harus Waspada  

Wilayah Afrika yang selama ini dianggap aman ternyata menjadi sarang kemunculan varian baru yang menular dengan jauh lebih cepat dibanding varian-varian sebelumnya.

Dunia pun dibuat tunggang-langgang. Amerika dan Eropa kalang kabut karena serangan Omicron yang menulari jutaan orang dalam waktu singkat.

Varian baru ini tidak seganas varian Delta yang mematikan. Namun, varian baru ini punya daya tular yang puluhan kali lebih cepat. Itulah yang menyebabkan dunia mengalami kepanikan gelombang ketiga.

Dalam waktu singkat di Indonesia tercatat sudah ada seribu orang yang terjangkiti Omnicron. Umumnya mereka adalah orang-orang yang baru balik dari perjalanan luar negeri, terutama dari Arab Saudi.

Namun, anehnya pemerintah malah membuka izin dan rombongan pertama sudah berangkat di awal tahun ini.

Serangan Omicron belum reda, tetapi sudah muncul lagi varian baru yang dideteksi di Siprus. Nama varian ini adalah Deltacron, karena varian ini merupakan paduan varian Delta dengan Omicron.

Kalau selama ini Omicron dianggap tidak mematikan meskipun menular dengan cepat, tetapi varian Delta dikenal mematikan. Indonesia dan India kalang kabut terserang varian Delta. Karena itu, kalau benar ada varian Deltacron dunia akan dibuat lebih kalang kabut.

Para epidemolog berbeda pandangan mengenai varian-varian baru ini. Terhadap varian Omnicron epidemolog Pandu Riono dengan tegas mengatakan bahwa pemerintah menakut-nakuti rakyat dengan hantu Omnicron.

Pandu tidak percaya ada gelombang penularan ketiga, karena itu pula Pandu tidak setuju dengan pembatasan liburan Nataru, dengan alasan pencegahan penularan gelombang ketiga oleh varian Omnicron. Kebijakan pemerintah oleh Pandu dianggap tidak konsisten, dan karena itu masyarakat menjadi bingung.

Kejar-mengejar antara vaksin dan virus belum juga berhenti, dan ternyata virus bermutasi lebih cepat dari yang dibayangkan. Baru saja vaksin ditemukan, tetapi virus bermutasi lebih cepat untuk menghindarinya. Dengan mutasi baru itu virus bisa menyebar lebih cepat dan bisa lebih kebal terhadap vaksin.

Kejar-kejaran virus dengan vaksin ini terlihat tidak seimbang sehingga dunia terlihat tunggang-langgang menghadapi serbuan makhluk kecil ini.

Baru saja muncul varian Delta, bermutasi lagi menjadi Delta Plus, kemudian muncul Omnicron, dan sekarang Deltacron.

Virus pada umumnya selalu bermutasi untuk mempertahankan diri. Para ilmuwan berlomba-lomba mencari cara untuk memusnahkannya sebelum makin banyak mutasi terjadi, yang membuat virus makin susah dilawan.

Prinsip ini berlaku juga pada virus Corona, khususnya SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Mutasi terbaru yang membentuk varian Delta Plus diakui oleh para ahli cukup mengejutkan, karena terjadi lebih cepat dari yang diduga.

Sosiolog Anthony Giddens sudah memprediksi kondisi tunggang-langgang ini dalam ‘’Runaway World; How Globalization is Reshaping Our Lives’’ (1995), globalisasi membuat semuanya menjadi global termasuk penyakit.

Giddens menyebut globalisasi mengubah hidup melalui proses ‘’manufacturing risks’’ risiko buatan, dan ‘’detradisionalisasi’’, pembongkaran kekuatan tradisional.

Risiko buatan adalah risiko yang dibuat oleh manusia sendiri karea eksperimennya terhadap ilmu pengetahuan. Makin canggih ilmu pengetahuan dan teknologi makin besar risiko yang dihadapi manusia. Bencana bom atom menghancurkan manusia pada perang dunia kedua.

Bencana nuklir menyebabkan korban yang mengerikan di Chernobyl. Sekarang ini kemajuan bioteknologi menghasilkan efek samping virus corona yang sampai sekarang tidak diketahui asal-usulnya.

Globalisasi juga mengubah hidup kita melalui proses detradisionalisasi, penghancuran kekuatan intitusi sosial yang selama ini dianggap mapan. Institusi itu beragam, mulai dari lembaga pendidikan, perkawinan, keluarga, sampai ke level nation-state, negara bangsa, dan juga agama.

Semua lembaga tradisional itu sekarang mengalami detradisionalisasi karena globalisasi.

Globalisasi yang ditandai dengan penyatuan dunia melalui jaringan internet world-wide-web membuat dunia berada di genggaman tangan karena ada gajet dan android.

Instisusi tradisional seperti keluarga dan agama menjadi berubah karena perangkat kecil ini. Pola interaksi di keluarga antara anak dan orang tua berubah. Kasus-kasus rumah tangga seperti perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga makin banyak dan bervasiasi.

Institusi pendidikan juga mengalami detradisioanalisasi karena pengajaran harus dilakukan secara daring. Belum meratanya fasilitas internet dan masih rendahnya budaya belajar mandiri mengancam kualitas pendidikan Indonesia.

Di kampung-kampung anak-anak lebih asyik bermain game online daripada harus belajar online. Tugas-tugas sekolah lebih banyak dikerjakan oleh orang tua yang tidak bisa memaksa anaknya mengubah secara instan pola belajar dari luring menjadi daring.

Menghadapi virus global ini negara dan agama terlihat lemah. Pelarangan kegiatan keagamaan di tempat-tempat ibadah secara tradisional adalah tantangan terhadap kekuasaan tradisional agama yang akan dipertahankan dengan darah dan kematian.

Namun, kali ini institusi agama dipaksa menyerah tidak berdaya menghadapi serangan virus global.

Institusi negara-bangsa juga berantakan dan tunggang-langgang menghadapi virus global. Otoritas pemerintah menghadapi tantangan yang serius dari berbagai kekuatan masyarakat yang melakukan oposisi melalui media digital.

Virus global telah melumpuhkan ekonomi dunia dan nyaris tidak ada perlawanan efektif yang bisa dilakukan institusi negara bangsa untuk menghadapinya.

Sampai sekarang belum ada kabar mengenai negara bangsa yang kolaps akibat virus global ini. Atau belum ada pemerintahan yang jatuh karena pandemi ini.

Hal itu terjadi pada 1998 ketika krisis moneter menerjang Asia dan membuat pemerintahan jatuh seperti yang dialami Indonesia.

Namun, survei terbaru itu menunjukkan bahwa trust masyarakat terhadap pemerintah sudah menyusut makin tipis. Kondisi riil di lapangan bisa saja lebih buruk dari itu.

Masyarakat makin curiga bahwa ada upaya terselubung untuk menangguk untung di tengah kondisi yang buntung.

Rencana pemerintah untuk menerapkan booster vaksinasi ketiga dan vaksinasi terhadap anak-anak dianggap sebagai rekayasa. Dua hal itu akan ditolak masyarakat kalau diterapkan secara suka rela. Karena itu hampir dipastikan pemerintah akan melaksanakan dua program itu secara paksa dengan menerapkan berbagai macam sanksi.

Dunia benar-benar tunggang langgang karena kebijakan yang tidak konsisten, dan rakyat akan terus-menerus menjadi korban. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag
Deltacron   Cak Abror   Delta   Omicron  

Terpopuler