JAKARTA - Aksi unjuk rasa Mahasiswa dan Pemuda Padang Lawas Utara di halaman kantor Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), Senin (18/6) siang, mendapat tanggapan Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra)Ucok Sky Khadafi.
Menurut Ucok, aksi demo itu salah alamat. Mestinya, aksi tidak digelar di depan kantor Kejatisu, namun ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Apa alasannya? Menurut Ucok, salah satu yang dipersoalkan massa pengunjuk rasa adalah dugaan penilepan dana Bantuan Sosial (Bansos) tahun 2010. Nah, menurut Ucok, biasanya dana bansos juga mengalir ke sejumlah instansi vertikal yang ada di daerah, salah satunya kejaksaan.
Bahkan menurut Ucok, biasanya istri-istri jaksa, yang tergabung dalam PKK, juga menerima aliran dana bansos. Model penyaluran bansos yang ngawur ini sudah kerap terjadi sebelum terbitnya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011.
Dengan demikian, menurut Ucok, tidak mungkinlah kejaksaan mau mengusut kasus bansos itu. "Tak mungkin lah jeruk makan jeruk. Jadi salah alamat demo itu. Mestinya ke KPK lah. Ke kepolisian juga jangan, karena kepolisian itu juga instansi vertikalnya ada di daerah. Sama saja," ujar Ucok kepada JPNN di Jakarta, kemarin (19/6).
Seperti diberitakan, massa aksi mendesak Kejatisu memeriksa Bupati Paluta Bachrum Harahap yang diduga korupsi miliaran rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2009, sesuai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Provinsi Sumatera Utara di Paluta belum lama ini.
Massa aksi juga mengaku menemukan adanya dugaan korupsi anggaran di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) Paluta. "Diduga pencairan anggaran tahun 2009 senilai Rp34 miliar tidak disertai Surat Permohonan Pencairan Dana (SP2D)," ujar NU Amir Tanjung selaku pimpinan aksi.
Selain soal pembangunan kantor bupati, massa aksi juga menduga Bachrum Harahap menilep uang bansos. Dana bansos tahun 2010 sebesar Rp18 miliar, tetapi yang direalisasikan hanya Rp10,8 miliar. Kuat dugaan Bachrum Harahap menelap dana Rp7,2 miliar.
Ucok mengatakan, penilepan uang bansos juga sering terjadi di banyak daerah. Modusnya, pengalokasian dana bansos di APBD sudah cincai-cincai dengan DPRD setempat sejak tingkat pembahasan. Dia menyebut, jumlah bansos yang disalurkan ke para wakil rakyat di daerah bisa mencapai separoh dari alokasi yang ditetapkan.
"DPRD sudah dari awal tahu berapa dana bansos dan berapa yang mereka terima. Jika tak dijatah sejak awal, mereka tak mau menyetujui," ujar Ucok.
Karenanya, lanjut Ucok, dalam kasus bansos Paluta ini, suara dari para wakil rakyat tidak terdengar. "Karena mereka saya duga juga dapat," ujarnya.
Namun, lanjut Ucok, setelah terbitnya Permendagri Nomor 32 Tahun 2011, penyaluran dana bansos tak bisa lagi sembarangan. Dana bansos harus sudah dijabarkan secara detil di APBD, sehingga penyalurannya pun tidak bisa lagi sesuka kepala daerah.
Para penerimanya pun harus lembaga yang sudah berbadan hukum. "Seperti mushola itu, sudah tidak bisa lagi. Penerimanya pun mesti membuat laporan pertanggungjawaban," ulas Ucok.
Hanya saja, diakui Ucok, masih sangat sedikit pemda yang menjabarkan dana bansos di APBD-nya. "Kupang sudah dijabarkan. Kalau DKI di banyak daerah lainnya, masih belum patuh dengan ketentuan Permendagri," pungkasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Korban Longsor di Ambon Belum Ditemukan
Redaktur : Tim Redaksi