jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Pangi Sarwi Chaniago menyatakan gelombang protes mahasiswa di berbagai daerah terkait RUU yang menuai kontroversi membuat pemerintah akhirnya mengambil jalan tengah untuk menunda penetapannya.
Menurut Pangi, empat RUU itu adalah soal pertanahan, minerba, KUHP, pemasyarakatan dan ketenagakerjaan.
BACA JUGA: Jumlah Massa Penolak RKUHP Vs Pendukung Revisi UU KPK, Jauh Banget....
Hanya saja, Pangi menyatakan, salah satu yang sebenarnya paling banyak penolakan dan kontroversi justru telah lebih dulu disahkan, yakni RUU KPK. RUU ini telah diketok palu dan tinggal menunggu tanda tangan presiden.
Pangi menilai isu pelemahan KPK yang menjadi salah satu titik krusial justru luput dari perhatian mahasiswa. Seharusnya, mahasiswa mempertanyakan itu pada presiden yang akan menandatangani UU itu.
BACA JUGA: Demo Mahasiswa Hari Ini: Gedung Wakil Rakyat Digeruduk Ribuan Massa
"Bola panas justru sekarang berada di tangan presiden bukan lagi di DPR," katanya, Rabu (25/9).
Pun demikian, lanjut Pangi, seluruh RUU yang sedang dibahas dan ditetapkan di DPR adalah produk RUU inisiatif presiden.
BACA JUGA: 6 Ciri Demo Mahasiswa Disebut Murni, Tidak Ditunggangi Elite
"Hanya RUU KPK saja yang menjadi inisiatif DPR, sehingga gelombang protes yang ditujukan mahasiswa kepada DPR sesungguhnya salah alamat," ungkapnya.
Pangi mengatakan, gelombang protes dan tekanan politik semestinya ditujukan ke Istana bukan ke gedung parlemen.
"Karena sejatinya akar masalah ada di Istana. Dengan demikian, kata dia, seluruh RUU inisiatif pemerintah bisa ‘ditunda’ hanya atas perintah presiden. Begitu juga UU KPK yang baru saja ditetapkan DPR bisa dengan “mudah” dibatalkan oleh presiden dengan mengeluarkan semacam perppu. "Sekali lagi presiden punya hak veto, apa pun bisa dilakukan presiden," katanya.
Jadi, Pangi menegaskan, sekarang sesungguhnya kunci persoalan itu ada di tangan presiden sehingga sangat tidak relevan lagi menekan DPR yang sudah tidak berdaya itu memadamkan api. "Pemadam kebakarannya ada di Istana," jelasnya.
Lebih lanjut direktur eksekutif Voxpol Center Research and Consulting itu menilai ada hal yang menarik dalam pendekatan sistem presidensial murni. Zonasi atau garis demarkasi sangat jelas. Legislatif fokus membuat produk undang-undang dan eksekutif melaksanakannya.
"Presidensial kita justru eksekutif sibuk buat peraturan perundang-undangan," paparnya.
Pertarungan kepentingan tersebut mencapai konsensus yang melahirkan sistem presidentsial model Indonesia yang berbeda dengan negara lain.
Ciri utama perbedaan itu adalah keterlibatan presiden dalam proses pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR.
Konstruksi konstitusi yang dapat mengatasi kebuntuan politik antara eksekutif dengan legislatif dengan mekanisme saling ‘bypassing’ antara presiden dan DPR dalam proses pengambilan keputusan.
"Presidensial kita memang unik, produk legislasi masih didominasi oleh eksekutif. Mungkin ini jalan tengah, mencegah deadlock antara legislatif dan eksekutif sehingga ada kompromi, salah satunya eksekutif (pemerintah) membuat undang undang," pungkasnya. (boy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Boy