Demo Masak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 29 Maret 2022 – 15:00 WIB
Pembuatan minyak kelapa dalam acara demo masak tanpa minyak goreng yang diselenggarakan PDIP, Senin (28/3). Ilustrasi. Foto: Dea Hardianingsih/JPNN.com.

jpnn.com - Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia) melakukan demonstrasi di Patung Kuda, Jakarta (28/3). 

Pada saat yang bersamaan, elite-elite PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) berkumpul mengikuti demonstrasi di kantor pusat di Lenteng Agung, Jakarta.

BACA JUGA: Minyak Goreng Langka, Teknik Memasak Ini Bisa jadi Solusi, Lebih Sehat

Sama-sama demo tetapi tujuannya berbeda. BEM SI melakukan demonstrasi politik dengan berorasi di depan mahasiswa sambil meneriakkan sejumlah protes dan tuntutan politik, termasuk memprotes kelangkaan minyak goreng. 

Demo di Lenteng Agung bukan demo politik, tetapi demo memamerkan cara memasak tanpa minyak goreng.

BACA JUGA: Begini Instruksi Bu Mega kepada Jajaran PDIP Soal Polemik Minyak Goreng

Dua even yang sama dengan simbolisasi yang berbeda dan bahkan kontras. Kalau seseorang menyebut kata ‘’demo’’ maka konotasi bisa dua macam, yaitu demo mahasiswa yang sudah hampir pasti demo politik, dan demo masak yang biasanya dihadiri oleh emak-emak di kelurahan.

Namun, kali ini yang terjadi sungguh unik, kalau tidak disebut absurd. PDIP yang notabene adalah the ruling party, partai penguasa, menyelenggarakan demo masak yang dihadiri oleh elite-elite PDIP. 

BACA JUGA: M Qodari: Gagasan Megawati Soal Minyak Goreng Visioner

Terlihat hadir, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Ketua DPP PDIP Wiryanti Sukamdani, serta Wakil Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo. Acara dipandu oleh anggota DPRD DKI Jakarta Fraksi PDIP Tina Toon. 

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri membuka dan memberi sambutan pada acara demo masak itu.

Karena yang menyelenggarakan acara demo masak ini adalah the ruling party, maka nuansanya menjadi bukan sembarang demo masak, tetapi demo masak politik.

Acara ini menjadi langkah politik PDIP merespons pandangan publik yang mempertanyakan pernyataan Megawati yang terkesan menyalahkan emak-emak yang berdesak-deesakan antre minyak goreng. 

Dalam pernyataannya itu, Mega mempertanyakan mengapa emak-emak itu tidak bisa bertindak kreatif dengan memasak tanpa minyak goreng.

Ucapan Mega ini viral dan mendapat tanggapan luas dari publik. Mega dianggap tidak peka terhadap kondisi masyarakat yang sedang panik menghadapi kelangkaan minyak goreng

Mega dianggap gagal menunjukkan empati, dan dianggap mengalihkan persoalan dan kesalahan dari pemerintah ke masyarakat.

PDIP melakukan tindakan antisipatif dengan mengadakan acara demo masak itu. 

Karena acara ini berbarengan dengan demo mahasiswa BEM yang gagal mendekati Istana, jadinya terlihat ironi.

Pemandangan terlihat kontras karena mahasiswa melakukan demo politik dan parpol melakukan demo masak.

Kata demo memang mempunyai makna denotatif yang bisa membuat gatal penguasa. Di masa pemerintahan Orde Baru, mahasiswa dilarang demo. Segera setelah Orde Baru melakukan konsolidasi kekuasaan, dikeluarkanlah aturan Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK).

Aturan ini dikeluarkan pada 1978 setelah serangkaian demonstrasi mahasiswa menentang Soeharto berakhir dengan penangkapan dan pemenjaraan. 

Rezim Orde Baru kemudian mengeluarkan aturan supaya kehidupan kampus menjadi ‘’normal’’. 

Mahasiswa yang turun ke jalan melakukan aktivitas politik dianggap sebagai tidak normal atau abnormal.

Karena itu, mahasiswa harus dikembalikan menjadi normal, dengan kembali ke kampus dan berkonsentrasi terhadap kuliah tanpa boleh melakukan kegiatan politik seperti demo di jalanan.

Kampus pun sepi dari kegiatan politik. Mahasiswa yang selama itu menjadi kekuatan kontrol yang efektif sejak 1966 dan 1974, akhirnya hidup normal tanpa ada kegiatan lain kecuali belajar dan cepat lulus menjadi sarjana. Itulah kondisi normal menurut rezim otoriter.

NKK-BKK model baru sekarang muncul lagi di era Jokowi. Mahasiswa dinormalkan kembali supaya tidak turun ke jalan. Kalau mau berdialog dengan Jokowi boleh saja, bisa diundang ke istana, tetapi tidak perlu pakai atribut mahasiswa, cukup pakai batik saja.

Bahasa adalah alat komunikasi. Namun, dalam wilayah politik, bahasa dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukuhkan, menunjukkan, mempertahankan, bahkan memanipulasi demi kepentingan kekuasaan.

Bahasa dan pengetahuan, kata Foucault, menjadi alat untuk mewujudkan kekuasaan atau kepentingan penguasa. 

Bahasa juga dapat menggambarkan terwujudnya relasi kekuasaan, yaitu hubungan antara yang memiliki kekuasaan dan pihak yang diatur oleh penguasa dalam suatu sistem.

Pada masa Orde Baru, bahasa digunakan penguasa untuk kepentingannya. 

Eufemisme menjadi alat untuk menyembunyikan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan di hadapan publik. 

Semasa Orde Baru banyak terjadi busung lapar, tetapi rezim menyebutnya sebagai ‘’gizi buruk’’.

Pemerintah Orde Baru tidak pernah menaikkan harga-harga. Yang dilakukan adalah sekadar melakukan ‘’penyesuaian harga’’. 

Penggunaan kata ini bertujuan memberikan perasaan penerimaan masyarakat terhadap kenyataan kenaikan harga BBM yang membawa dampak luas dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Bahasa menggambarkan relasi kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki kekuasaan dan pihak yang diatur oleh penguasa dalam suatu sistem. 

Pihak penguasa memiliki hak untuk mengatur, mengawasi, dan menjaga suatu sistem agar sistem tersebut tetap berjalan sebagaimana yang diharapkan. 

Di sisi lain, pihak yang diatur memiliki hak untuk diberikan petunjuk, arahan, dan bimbingan dalam sistem tersebut.

Bahasa dipakai sebagai alat untuk melanggengkan, menindas, dan menekan perlawanan. 

Relasi kekuasaan juga terlihat pada penggunaan label-label yang menunjukkan identitas kelompok dalam politik. 

Relasi ini dimaksudkan bukan untuk saling menguasai satu pihak dengan pihak lainnya, melainkan digunakan untuk memperoleh dukungan atau merendahkan pihak yang berseberangan dengan kekuasaan.

Bahasa dalam relasi kekuasaan seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi bahasa dapat menjadi alat yang bermanfaat untuk menjalin komunikasi yang baik antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai sehingga tujuan bersama dapat tercapai dengan baik. Di sisi lain, bahasa dapat menjadi alat yang dapat melemahkan, menekan, bahkan menghancurkan pihak yang dikuasai.

Bahasa dan relasi kekuasaan terjadi sepanjang zaman. Di era Jokowi, bahasa adalah identitas untuk menunjukkan siapa yang ada di pihak kita dan siapa di pihak mereka. Pada Pemilihan Presiden 2024 muncul semboyan “Jokowi adalah Kita”.

Jargon ini dikotomis dan digunakan untuk mendapatkan dukungan dan rasa simpati masyarakat luas terhadap Jokowi sebagai calon presiden RI. Pemilihan kata ‘’kita’’ menyiratkan adanya kesamaan, kebersamaan, dan kelekatan figur Jokowi dengan masyarakat sebagai calon pemilihnya.

Hal yang sama terulang lagi menjelang akhir masa jabatan Jokowi di 2024. Ketika isu penundaan pemilu makin gencar dan perlawanan terhadap isu itu juga kian kuat, maka muncullah jargon ‘’2024 Ikut Jokowi’’. Jargon ini juga dikotomis, memisahkan antara kita dan mereka.

Relasi kekuasaan dalam pertarungan politik diwujudkan melalui penggunaan kata-kata yang menunjukkan perlawanan satu pihak dengan pihak lainnya dengan cara mendiskreditkan pihak lawan labelling dan stereotyping. 

Pelabelan muncul untuk menunjukkan relasi kekuasaan yang berkaitan dengan identitas kelompok. Pelabelan ini bertujuan membuat perbedaan atau pemisahan, misalnya intoleransi versus toleransi, kebinekaan versus radikal, Pancasila versus anti-Pancasila.

Maka muncullah cebong lawan kampret dan kemudian kadrun lawan cebong. Labelisasi itu menjadi garis demarkasi yang memisahkan satu front dengan front lainnya, dalam perang terbuka yang berkepanjangan. 

Relasi kuasa itu terlihat pada dua peristiwa di Patung Kuda dan di Lenteng Agung. Dua-duanya adalah demonstrasi, tetapi konotasinya berseberangan dan bertolak belakang. Demonstrasi yang dilakukan anak-anak mahasiswa itu adalah oposisi yang tidak absah. Karena itu mereka diisolasi dan disingkirkan.

Demonstrasi yang dilakukan para elite PDIP itu adalah demonstrasi dukungan terhadap kekuasaan. Demo ini dianggap lebih absah dan legitimate. Demonstrasi sebagai bagian dari ekspresi demokrasi telah mengalami degradasi dan pelecehan menjadi demonstrasi panci dan masak-memasak. (*)


Redaktur : Boy
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler