Demokrasi Berjalan Mundur jika Pilkada Serentak Dipaksakan di 2024

Rabu, 10 Februari 2021 – 15:35 WIB
Ilustrasi - Warga saat mengikuti pencoblosan Pilkada. Foto: Ricardo/JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Demokrasi di Indonesia bisa makin berjalan mundur jika Pilkada 2022 dan 2023 tetap dipaksakan digelar serentak di tahun 2024.

Jika Pilkada tetap digelar di 2024, maka terdapat 272 penjabat kepala daerah yang bakal ditunjuk mengelola provinsi, kabupaten, dan kota, selama 1-2 tahun.

BACA JUGA: Sikap Fraksi NasDem soal Jadwal Pilkada Serentak, Tegas!

Kredibilitas dan legitimasi kepala daerah di era demokrasi muncul karena dipilih oleh rakyat. Sedangkan jika ditunjuk langsung oleh presiden melalui Mendagri, kredibilitas dan legitimasinya di mata rakyat yang dipimpinnya tentu sangat lemah.

“Kalau hanya beberapa bulan saja, mungkin masih bisa diterima publik, tetapi ini bertahun-tahun,” kata Kepala Badan Komunikasi Strategis DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra dalam keterangan tertulis diterima, Rabu (10/2/2021).

BACA JUGA: Saran Margarito Kamis Kepada MK Terkait Sidang Gugatan Perselisihan Pilkada

Menurut Herzaky, demokrasi intinya adalah pemilihan pemimpin oleh rakyat, bukan oleh kepala negara atau kepala pemerintahan. Kalau kepala daerah ditunjuk oleh presiden, meskipun hanya penjabat, tetapi dalam waktu yang cukup lama, 1-2 tahun, makna demokrasi bakal mengalami reduksi.

“Bahkan, muncul pertanyaan, apakah kita kembali ke era guided democracy?,” Tanya Herzaky.

BACA JUGA: Respons Ahmad Yani Buat MK Terkait Penanganan Sengketa Pilkada, Tegas!

Apalagi dengan penunjukan begitu banyak ASN atau korps tertentu sebagai penjabat kepala daerah. Publik akan memaknainya sebagai ajang konsolidasi pihak tertentu menjelang Pilpres 2024.

“Siapakah yang bakal diuntungkan dengan keberadaan 272 penjabat kepala daerah ini? Sebagian besar penunjukan penjabat kepala daerah ini di provinsi dan kota-kabupaten yang sangat strategis,” kata Herzaky.

Pertanyaan lanjutan, kata dia, terkait netralitas ASN yang ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah. Isu sensitif yang hampir selalu mengemuka di tiap gelaran pemilu nasional dan pemilu daerah ini, bakal kembali menjadi sorotan.

Padahal, netralitas ASN merupakan bagian penting dari menjaga kualitas demokrasi kita. Dengan penunjukan 272 ASN atau korps tertentu sebagai penjabat kepala negara dalam jangka waktu tahunan menjelang Pemilu 2024, ada bom waktu berupa potensi penyalahgunaan kekuasaan yang membuat mereka tidak dapat menjaga netralitasnya.

Menurut Herzaky, kalau pandemi covid-19 yang dikedepankan oleh pemerintah, malah membuat gelaran pilkada di 2022 dan 2023 makin tinggi urgensinya. Rakyat berhak menentukan seperti apa kebijakan penanganan covid-19 di tiap daerahnya.

Mereka yang merasa kepala daerahnya saat ini tidak memiliki performa baik dalam mengelola pandemi dan krisis ekonomi, bakal dihukum dengan tidak dipilih lagi. Dan, mereka bakal memilih siapa kepala daerah yang menurut mereka lebih pantas dan cakap dalam mengelola krisis ini.

“Jangan cabut hak dasar warga negara dalam memilih pemimpin daerahnya hanya karena pemerintah pusat saat ini gelagapan dalam mengelola covid-19. Pandemi bukan berarti alasan mengebiri demokrasi,” katanya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler