Sikap Fraksi NasDem soal Jadwal Pilkada Serentak, Tegas!

Senin, 01 Februari 2021 – 12:00 WIB
Partai NasDem. Ilustrasi Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Saat ini DPR sedang merumuskan draf revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satu aturan yang menjadi perdebatan terkait jadwal pelaksanaan pilkada.

Ada fraksi di DPR menghendaki jadwal pilkada serentak dikembalikan seperti semula, yakni tetap digelar 2022 dan 2023.

BACA JUGA: Dirjen Polpum Kemendagri Bahtiar: Sesuai Jadwal, Pilkada Berikutnya 2024

Sebagian fraksi mempertahankan ketentuan di UU bahwa pilkada 2022 dan 2023 digelar bersamaan dengan pileg dan pilpres pada 2024.

Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR Ahmad M. Ali menyatakan pelaksanaan pilkada serentak harus dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023. 

BACA JUGA: Simak, Saran Fahira Soal Polemik Waktu Pelaksanaan Pilkada Serentak

Ahmad M. Ali pun menyampaikan berbagai argumentasi agar pilkada serentak 2022 dan 2023 tidak digelar bersamaan dengan pileg dan pilpres pada 2024. 

Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah (Sulteng) ini menjelaskan bahwa persyaratan sebuah negara yang demokrasinya terkonsolidasi adalah terdapatnya regularitas, rutinitas yang kesinambungan, di dalam pelaksanaan pemilunya. 

BACA JUGA: Listyo Sigit: Kami Tidak Berani ke Mana-mana sebelum Bertemu dengan Pak Kiai

Menurutnya, adanya pemilu atau pilkada yang jujur dan adil secara periodik, merupakan wujud yang paling nyata dari demokrasi itu sendiri. 

Ini artinya, lanjut Ahmad M. Ali, terjadi pertanggungjawaban politik lewat pergantian pemimpin atau pelaksana kekuasaan secara berkala.

Ia menambahkan pelaksanaan pemilu maupun pilkada adalah kunci dari daulat rakyat. 

Menurutnya, tidak ada mandat sedikit pun baik itu dari konstitusi maupun dari rakyat, yang mempersilakan pemerintah menghilangkan atau menunda proses pemilu atau pilkada. 

Ali menegaskan mandat dari rakyat untuk pemimpinnya baik level nasional maupun daerah berada dalam rentang lima tahunan. 

Dalam masa lima tahun itu, adalah hak rakyat untuk memilih kembali pemimpin atau wakil-wakilnya di lembaga-lembaga negara.

Pergantian kekuasaan melalui pemilu atau pilkada, selain akan menjamin peralihan kekuasaan secara aman dan tertib, juga memberikan jaminan adanya legitimasi yang kuat bagi pemerintah itu sendiri. 

"Jika pemilu atau pemilukada ditunda, apalagi hanya berdasarkan asumsi-asumsi teknis semata, maka tidak ada legitimasi yang kuat dari rakyat yang menyertainya dan juga bagi penjabat yang mengisinya," kata Ali dalam keterangan pers, Senin (1/2). 

Selain itu, Ali menambahkan, amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 Tentang Tafsir Terhadap Keserentakan Penyelenggaraan Pemilu Nasional dan Pilkada memberikan pemahaman bahwa pemilu nasional tidak harus bersamaan dengan pilkada. 

Ia menambahkan keserentakan dapat diartikan bahwa dalam setiap tahunnya pilkada diselenggarakan pada hari dan bulan yang sama untuk seluruh daerah.

"Berdasarkan pemikiran di atas maka Fraksi Partai NasDem menyatakan sikap, pertama, laksanakan pilkada serentak tahun 2022 dan 2023! Selain demi terpenuhinya hak dasar politik rakyat, beberapa impact dari pelaksanaan pemilu dan pilpres tahun 2019 secara bersamaan adalah pelajaran berharga bagi kita sebagai bangsa," kata Ali. 

Selain itu, lanjut Ali, adanya Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak lima kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019.

Kedua, pelaksanaan pilkada serentak tahun 2020 telah dinilai berjalan baik, tidak ada persoalan stabilitas keamanan dan stabilitas pemerintahan yang terganggu. 

Menurutnya, menjadi tidak relevan apabila dikatakan bahwa pilkada 2022 dan 2023 mengganggu stabilitas pemerintahan nasional. 

Sebaliknya, kata dia, penyatuan pemilu nasional dan pilkada, legislatif dan eksekutif, dan terutama pilpres, mengandung risiko sangat besar mengganggu stabilitas politik dan sosial. 

"Serta dapat berisiko melemahkan arah berjalannya sistem demokrasi," kata Ali yang juga anggota Komisi III DPR ini. 

Ketiga, Ali menyatakan pelaksanaan pilkada serentak pada 2024 hanya akan membuat banyaknya pelaksanan tugas (plt) kepala daerah dan/atau penjabat kada dalam rentang waktu satu hingga dua tahun. 

Kondisi demikian, kata dia, berpotensi membuka celah bagi terjadinya rekayasa politik untuk mendukung kepentingan pihak tertentu dan jauh dari komitmen pelayanan bagi publik. 

"Selain itu, akan terjadi pula penumpukan biaya yang membebani APBN, sementara sistem keuangan dan anggaran pemilu yang ada pada saat ini perlu untuk dipertahankan dan terus disempurnakan," katanya. 

Keempat, Ali mengatakan pemisahan antara pemilu dengan pilkada akan menciptakan iklim politik yang kondusif, sekaligus menjadi ruang pendewasaan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

"Figur pilihan rakyat di daerah tidak terdistorsi oleh kepentingan pusat, diferensiasi pun terjadi berdasarkan pertimbangan rasional, obyektif, dan berkualitas," jelasnya. 

Kelima, Ali mengajak semua pihak mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas individu dan kelompok. 

"Marilah berjuang, tidak sekadar untuk memenangkan ruang-ruang elektoral, tetapi juga demi meningkatnya kualitas demokrasi deliberatif bangsa ini," pungkasnya. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler