Demokrasi Jangan Sekadar Sirkulasi Kekuasaan

Senin, 29 Januari 2018 – 02:35 WIB
Direktur NCBI Wempi Hadir (kedua kiri) bersama para narasumber pada Pertemuan Kebangsaan NCBI bertajuk “Mengawal Demokrasi: Menolak Politik SARA, Merawat Kebinekaan," di Jakarta, Sabtu (27/1). Foto: Dok. NCBI

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Nation and Character Building Institute (NCBI), Wempi Hadir mengingatkan demokrasi tidak sekadar melakukan sirkulasi kekuasaan, tetapi sebagai sarana untuk menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

“Jangan menjadikan demokrasi sebagai intrumentalisasi untuk kepentingan elite, partai politik dan kelompok tertentu,” kata Wempi Hadir saat berbicara pada Pertemuan Kebangsaan NCBI bertajuk “Mengawal Demokrasi: Menolak Politik SARA, Merawat Kebinekaan," di Jakarta, Sabtu (27/1).

BACA JUGA: NCBI Gelar Pertemuan Kebangsaan untuk Merawat Keberagaman

Dalam kesempatan itu, Wempi memaparkan tentang perkembangan demokrasi di Indonesia sejak era Presiden Soekarno hingga saat ini di era Presiden Joko Widodo.

“Demokrasi kita lahir dari sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Dalam proses tersebut ada banyak catatan sehingga melahirkan sebuah koreksi tajam atas sistem demokrasi yang dijalankan,” katanya.

BACA JUGA: Karena Pancasila, Indonesia jadi Miniatur Dunia

Ia mencontohkan pada era pemerintahan Soerkarno dikenal dengan istilah demokrasi terpimpin. Sistem demokrasi ini mengukuhkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Dengan demkian menutup ruang terhadap kadersiasi pada level elite kekuasaan.

Selanjutnya, pada era pemerintahan orde baru yang mengklaim sebagai pemerintahan yang menggunakan demokrasi Pancasila, tapi praktiknya adalah otoriter.

BACA JUGA: Jokowi: Demokrasi Cara Tepat Melayani Masyarakat

Menurut Wempi, tidak ada perdebatan atau pertentangan ide pada era orde baru sebagaimana ciri utama dari sebuah demokrasi adalah diskursus untuk menemukan solusi terbaik atas sebuah persoalan. Siapa yang memiliki perbedaan pandangan dengan presiden dianggap sebagai orang atau pihak yang melawan Negara. Dengan demikian, yang bersangkutan bisa diproses secara hukum. Kondisi ini telah menciptakan bara dalam sekam yang kemudian memicu gerakan reformasi 1998.

“Gerakan ini sebagai Oase bagi lahirnya berbagai perubahan dalam berbagai bidang di Indonesia,” katanya.
Ia menilai demokrasi kita mengalami patahan sejak kemerdekaan hingga orde reformasi. Sehingga kematangan demokrasi kita membutuhkan waktu yang cukup panjang dengan sumber daya yang besar.

Menolak Politik SARA

Pada kesempatan itu, Wempi juga menilai penggunaan politik suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) merupakan cara-cara yang dilakukan oleh orang yang kalah sebelum pertarungan. Mereka sangat sadar bahwa mereka tidak memiliki kapasitas equivalent terhadap competitor sehingga salah satu jalan untuk menggerus dukungan lawan adalah menggunakan politik SARA.

Menurut Wempi, politik SARA digunakan oleh mereka yang tidak memiliki modal lain untuk memenangkan kontestasi yang fair. Cara-cara seperti ini tentu bertentangan dengan sifat dari politik inklusif. Politik itu bukan untuk mengakomodasi satu kelompok atau golongan semata.

“Politik adalah untuk menjaga kepentingan semua pihak tanpa ada diskrimanasi SARA,” kata Wempi yang juga mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) ini.

Di Indonesia sendiri politik SARA tidak jarang terjadi, apalagi setelah reformasi 1998 dengan berbagai kebebasan pers dan menyatakan pendapat, seolah menjadi jalan dan jembatan bagi politik SARA untuk melakukan aksinya. Akhirnya terjadi polarisasi dalam masyarakat.

Hal ini, kata dia, tentu sangat berbahaya bagi kohesitas kita sebuah bangsa yang berbhineka. Politik SARA hanya akan membawa dampak negatif bagi kemajuan sebuah bangsa. Pasalnya, kita selalu terjebak dalam pembelahan politik, selalu mempermasalahkan perbedaan. Padahal perbedaan adalah kekuatan bagi bangsa ini. Namun kekuatan ini selalu diobok-obok oleh mereka yang ingin meraih kekuasaan dengan kemampuan yang pas-pasan.

“Oleh karena itu, mestinya dalam kontestasi yang bermartabat, yang perlu ditonjolkan adalah konsepsi dari setiap calon kepala daerah untuk membangun daerah sehingga terwujud cita-cita nasional kita dalam berbangsa dan benegara seperti yang tertuang dalam UUD 1945 yakni mewujudkan Indonesia adil dan makmur,” katanya.

Wempi berharap dalam pemilihan kepala daerah mestinya mengedepankan bagaimana membangun masyarakat yang beragam suku, agama, ras dan antargolongan ini dapat bersatu membangun daerahnya. Politik yang mendepankan SARA mengindikasikan miskinya gagasan serta membawa dampak negatif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam pertemuan ini, hadir pula sejumlah narasumber yakni Kepala UKP-PIP, Yudi Latif, tokoh nasional/mantan Menko Kemaritiman Dr. Rizal Ramli; Bupati Kabupaten Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar diwakili Kepala Kebaspol Kabupaten Tangerang; Romo Yustinus Sulistiadi, Pr (Founder Cultura Di Vita); Dr. Prabawa Eka Soesanta (Direktur Bina Ideologi, Karakter dan Wawasan Kebangsaan, Kemendagri RI); Mochammad Afifuddin (Koordinator Divisi Pengawasan dan Sosialisasi BAWASLU RI); Pastor Ignatius Prasetya H. Wicaksana, Pr (Pastor Rekan Gereja Santo Gregorius Agung), Ari Nurcahyo (Direktur Eksekutif PARA Syndicate); dan Virdika Rizky Utama selaku Moderator(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jangan Biarkan Oknum Haus Kekuasaan Merusak Demokrasi


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler