Demokrat Yakin Mahfud Setuju BBM Naik

Selasa, 03 April 2012 – 10:18 WIB

JAKARTA---Sejumlah politisi Demokrat ikut mempertanyakan alasan sejumlah pihak yang berencana menggugat UU APBN Perubahan 2012 Pasal 7 ayat (6) A. Ayat yang mengatur naik turunnya harga bahan bakar minyak (BBM) ini disepakati dalam Rapat Paripurna DPR. Meski merasa 'gerah' namun, partai di bawah binaan Presiden SBY ini, juga mengaku menghormati hak warga negara menggugat UU yang disahkan pada Sabtu 31 Maret 2012 lalu itu.

Politisi Demokrat Ruhut Sitompul mengaku tidak ingin mempermasalahkan bila ada pihak-pihak yang ingin menggugat pasal tambahan tersebut. Hal ini lantaran Demokrat merasa yakin, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan sejalan dengan putusan DPR itu. "Silakan uji revisi. Tapi sepertinya Pak Mahfud MD sepakat dengan kami," kata Ruhut Sitompul di gedung DPR, Senayan.

Ruhut yang mengaku sebagai tim pengacara dari DPR siap meladeni gugatan soal pasal itu. Ruhut yakin, alasan yang akan disampaikan DPR bila nanti diundang sebagai saksi di MK, akan diterima. "Ini demi perekonomian negara kok. Kita hadapi saja, mengalir, toh tidak ada yang salah dalam rapat paripurna kemarin, semuanya sah baik secara formil atau pun materiil," kata Ruhut yang juga anggota Komisi III Bidang Hukum DPR ini.

Sementara itu, Anggota Komisi VII yang membidangi ESDM dari Fraksi Partai Demokrat, Heriyanto, mengaku yakin Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolak upaya uji materi atau judicial review pasal 7 ayat 6 a UU APBN Perubahan 2012. Hal itu menurutnya karena tidak ada yang salah dalam pasal, pasal itu justru mengembalikan hak konstitusional pemerintah atau presiden untuk menetapkan harga BBM.

"Saya mendapatkan masukan dari banyak konsituien saya, bahwa ayat 6 a itu sudah benar dan oleh karena itu kami yakin hal itu akan ditolak oleh MK. Asumsi yang mereka kembangkan alasan mengajukan itu karena pemerintah menetapkan harga berdasarkan harga internasional dan oleh karena itu bertentangan dengan konsitusi, tapi menurut saya adalah karena ketidakpahaman saja bagaimana menghitung harga BBM," ujar Heriyanto kepada  INDOPOS di Gedung DPR, Senayan, Senin (2/4).

Dalam setiap APBN, jelasnya lagi, harga yang dituliskan itu hanyalah asumsi saja. Setiap asumsi tentunya harus diubah kalau kondisi dan kenyataannya berbeda dengan asumsi. Asumsi dibuat itu karena ada semangat ketidakpastian didalamnya. Oleh karena itu dengan tambahan ayat 6 a, maka pemerintah diberikan ruang untuk mengkoreksi asumsinya yang tidak bisa diberikan oleh ayat 6 dimana pemerintah tidak boleh merubah hal itu.

"Kalau dikatakan asumsi itu karena ada sifat ketidakpastian di dalamnya. Semangat pemerintah dalam mengajukan APBN itu selalu dikatakan asumsi karena ada ketidakpastian maka asumsi itu bisa berubah sesuai dengan kondisi. Kalau tidak mau diubah pemerintah diwajibkan saja mematoknya dan tidak terpengaruh pada naik turunnya harga BBM, pendapatan dan pengeluaran dari sektor itu dipatok saja," jelasnya.

Alasan bahwa pemerintah menentukan harga BBM sesuai harga pasar internasional atau melalui mekanisme pasar sehingga dijadikan alasan untuk mengajukan judicial review menurutnya juga terlalu dicari-cari. Bangsa Indonesia, tambahnya, hidup dalam dunia global, di mana harga internasional digunakan hanya sebagai patokan saja, tapi yang menentukan harga tetap pemerintah.

"Harga pasar itu hanya untuk ukuran saja, kalau tidak menggunakan patokan bagaimana pemerintah mengukurnya?Kita kan hidup di era globalisasi, maka harga pasar internasional digunakan. Kewenangan menentukan harga ada pada pemerintah dan bukan pada mekanisme pasar.
Kalau tidak menggunakan ukuran, terus bagaimana menghitungnya?," tanyanya.

Sebelumnya Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra bersama beberapa pakar hukum tata Negara lainnya serta berbagai element masyarakat menegaskan bahwa mereka akan melakukan judicial review Pasal 7 ayat 6 dan 6a RUU APBN-P yang telah disahkan oleh DPR karena dinilai telah menabrak Pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Pengujian pasal 7 ayat 6a itu menurutnya tidak hanya materil, karena bertentangan dengan pasal 33 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tapi juga formil karena menabrak syarat-syarat formil pembentukan UU sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2011. "Tahun 2003, MK memutuskan dalam perkara pengujian UU Migas bahwa harga jual minyak dan gas tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar, karena migas menyangkut sumber kekayaan alam yang berkaitan dengan hajat kehidupan orang banyak, yang berada dalam kekuasaan Negara," jelasnya.

Dengan ayat 6a, tambahnya lagi harga eceran migas boleh dinaikkan atau diturunkan apabila terdapat kenaikan 15 persen harga minyak produksi Indonesia di pasaran internasional, dalam waktu 6 bulan ke depan. "Ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana ditafsirkan MK. Lagi pula, kewenangan menaikkan harga migas itu, menurut ayat 6a yang disepakati DPR dan Presiden melalui voting tadi malam, cukup dilakukan Pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR. Ini tidak sejalan dengan UU N0 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara," tambahnya.

Norma Pasal 7 ayat 6a yang menyebutkan bahwa, "Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya", menurut Mantan Menkumham ini selain mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN juga mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 45, sehingga potensial dibatalkan oleh MK.

"Alhamdulillah, langkah yang akan saya tempuh ini mendapat respons positif dari sejumlah akademisi dan advokat. Mereka siap bergabung dengan saya untuk melakukan uji formil dan materil Pasal 7 ayat 6 dan 6a yang saling tabrakan terhadap UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011. Para lawyer dan akademisi itu antara lain Dr. Irman Putra Sidin, Dr. Margarito Kamis, Dr. Maqdir Ismail dan Dr. Teguh Samudra. Sementara Prof. Natabaya menyatakan siap jadi Ahli," tegasnya.

Dirinya mengatakan bahwa akan bertindak sebagai lawyer atas kuasa beberapa orang rakyat pengguna BBM berubsidi yang hak-hak konstitusional mereka dirugikan dengan pasal 7 ayat 6 dan 6a tersebut. "Rakyat itu bisa siapa saja, termasuk sopir ojek, supir angkot, nelayan pengguna solat untuk melaut, tukang warung, tukang jual gorengan dan ibu-ibu rumah tangga. Karena semua mereka adalah konsumen BBM bersubsidi, maka mereka punya kedudukan hukum (legal standing) untuk ajukan perkara ini ke MK," tandasnya. (ind/Dms)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Donny, Kapuspen Bermodal Palugada


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler