"Pasca-reformasi, persoalan pertumbuhan yang berkeadilan dan berkelanjutan masih menjadi masalah besar bagi rakyat. Di satu sisi, demokratisasi politik menjamin persamaan warga negara di depan hukum, kebebasan berpendapat dan berekspresi serta kebebasan pers. Di sisi lain, demokratisasi ekonomi tidak berkembang," kata Irman Gusman dalam sambutannya pada seminar nasional “Pertumbuhan Ekonomi yang Berkeadilan dan Berkelanjutan”, di Jakarta pada Senin, (15/10).
Dilihat secara makro, lanjutnya, pembangunan ekonomi Indonesia memang menunjukkan kemajuan dengan adanya angka pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 persen. Hanya saja, lanjutnya, pertumbuhan itu bukan gambaran nyata pembangunan yang ada.
Dikatakannya, fokus pertumbuhan makro belum menjamin terwujudnya keadilan dan pemerataan. Sementara masih rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi berujung pada membengkaknya jurang antara kaya dan miskin yang semakin membesar.
Irman menyebut persoalan tersebut semakin kasat mata dalam kehidupan sehari-hari rakyat. "Begitu juga secara kewilayahan juga terjadi kesenjangan. Contoh, saat ini 80 persen industri nasional berlokasi di Pulau Jawa. Sementara sebagian besar lahan penghasil energi listrik dan energi panas bagi industri-industri tersebut didatangkan dari luar Pulau Jawa," ungkap senator asal Sumatera Barat itu.
Irman menduga, ada kecenderungan menyimpangnya kebijakan pertumbuhan dari spirit konstitusi. Hal ini merupakan akibat dari serbuan ideologi neoliberal yang tidak bisa dihindari. Sebab peranan negara dalam neoloberalisme dibatasi hanya sebagai pengatur dan penjaga bekerjanya mekanisme pasar saja.
"Akibatnya, negara dengan kekayaan alam yang besar tapi tidak memiliki kemandirian ekonomi," tegasnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Politisi Golkar dan PKB Malu Bicara Antikorupsi
Redaktur : Tim Redaksi