Demonstran Bakar Bendera PDIP, Aktivis '98: Mereka Datang Bukan untuk Kebenaran

Jumat, 26 Juni 2020 – 23:59 WIB
Bendera PDIP. Foto: dokumen JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Salah seorang pentolan aktivis'98, Ari Purnama membandingkan unjuk rasa menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (24/6) kemarin, dengan gerakan mahasiswa 1998 lalu.

Pria yang lebih dikenal dengan panggilan Ari Bironk ini menyebut, aksi yang diwarnai dengan pembakaran bendera bukan merupakan gerakan yang berlandaskan moral.

BACA JUGA: Polri Tegaskan Akan Profesional Tangani Kasus Pembakaran Bendera PDIP

"Kami dulu itu gerakan moral. Landasannya memperjuangkan moralitas bangsa dan negara. Jadi, enggak ada itu pembakaran bendera. Nah, yang terjadi belakangan ini (unjuk rasa menolak RUU HIP) kemungkinan provokasi," ujar Ari Bironk kepada jpnn.com, Jumat (26/6).

Salah seorang pendiri Forum Kota (Forkot) ini kemudian membagi aksi unjuk rasa dalam dua kategori. Yaitu, gerakan moral dan aksi politik.

BACA JUGA: Akankah Jago PDIP di Pilkada 2020 Tenggelam Gara-gara RUU HIP?

Aksi moral biasanya lebih spontan dan mengikuti psikologi massa. Sementara aksi politik, tahapan-tahapan yang akan dilakukan direncanakan dengan matang.

Jadi, tidak mungkin pembakaran bendera PDIP dilakukan spontan, sementara di sekitar gedung DPR/MPR tidak ada bendera partai berlambang banteng moncong putih tersebut. Kemungkinan bendera telah disiapkan oleh oknum tertentu.

BACA JUGA: Bendera PDIP Dibakar, Halaman Kantor Polres Bogor Memerah

"Kalau aksi moral, itu lebih alamiah, mengikuti psikologi massa di lapangan. Nah, kalau aksi yang bertujuan politik, segala sesuatu disusun untuk tujuan tertentu," ucapnya.

Pria yang juga ikut mendirikan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (FAMRED) ini juga mengatakan, aksi mahasiswa era'90-an tidak pernah membakar bendera, karena memegang erat etika gerakan.

"Bendera itu kan simbol kelompok tertentu, harus dihargai. Sepengetahuan saya, itu gerakan mahasiswa 98 enggak pernah sampai misalnya membakar bendera partai tertentu," katanya.

Selain memegang erat etika gerakan, para aktivis era 90-an, kata Ari, juga diajarkan sejarah gerakan, budaya gerakan dan kalkulasi di lapangan.

Selain itu, diajarkan aksi yang dilakukan bertujuan untuk menunjukkan kebenaran. Bukan sekadar berunjuk rasa, tanpa tahu nilai-nilai yang diperjuangkan.

"Berbicara aksi kemarin (unjukrasa menentang RUU HIP), terkesan hanya aksi massa, bukan massa aksi. Jadi, orang yang datang bukan untuk unjuk kebenaran, tetapi karena dimobilisasi," katanya.

Ari berkaca dari beberapa pemberitaan media, dimana ada peserta aksi tidak tahu tujuan sebenarnya ikut turun ke jalan.

"Jadi, kesannya itu hanya karena sesuatu. Mungkin nasi bungkus atau solidaritas pertemanan. Kan sudah lama juga enggak ada ramai-ramai. Saya menyebut jika dimobilisasi itu aksi massa. Sementara rakyat yang berkesadaran unjuk kebenaran, itu massa aksi," pungkas Ari. (gir/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ken Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler