jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU FH UI) Dhita Wiradiputra mengapresiasi sanksi denda Rp 29,5 miliar yang dijatuhkan PKPU terhadap Grab dan PT TPI.
Menurut dia, putusan itu tidak akan membuat calon investor asing lari ketakutan. Sebaliknya, perkara Grab ini justru memperlihatkan adanya kepastian hukum dalam sektor bisnis Indonesia.
BACA JUGA: Investor Asing dan Grab Tidak Boleh Merugikan Pengusaha Lokal Â
“Ini justru memberikan kepastian hukum, dalam berusaha. Apalagi Grab itu di sebagian negara Asean itu telah dihukum, seperti di Malaysia dan Filipina,” ungkap Dhita, Selasa (7/7).
Dia mengamati adanya perubahan model bisnis Grab, dari sebelumnya ride sharing menjadi penyediaan kendaraan.
BACA JUGA: Persaingan Tidak Sehat, Grab Dihukum Bayar Denda Rp 29,5 Miliar
Perubahan tersebut pasti akan memicu terjadinya perbedaan layanan perusahaan kepada mitra pengemudi yang mengikuti program pengambilan kendaraan dari perusahaan dibandingkan yang tidak.
“Kalau model bisnisnya seperti itu, kenapa tidak menjadi perusahaan transportasi. Kalau seperti sekarang, pada saat order turun, driver pasti berpikir ini karena ada program di PT TPI,” jelas dia.
BACA JUGA: Bos Grab Terpaksa PHK 360 Karyawan
Dalam fakta persidangan yang diungkap KPPU dalam salinan putusan yang diterima hari ini mengungkapkan adanya integrasi vertikal di tubuh Grab dan TPI.
Salah satunya melalui facilitating practices dalam penentuan strategi atau kebijakan perusahaan yang berbeda beda terhadap mitra yang secara nyata sebagai perusahaan afiliasinya dibandingkan dengan mitra yang bukan afiliasinya.
Integrasi vertikal ini kemudian dimanfaatkan untuk melakukan penguasaan pasar dari hulu ke hilir yang berdampak pada penurunan prosentase jumlah mitra non-TPI dan order dari mitra non TPI.
Dalam putusannya, KPPU menyatakan PT Grab Teknologi Indonesia dan PT TPI terbukti bersalah melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan denda masing-masing sebesar Rp 7,5 miliar dan Rp 4 miliar, serta Pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan denda masing-masing sebesar Rp 22,5 miliar dan Rp 15 miliar.
Untuk diketahui, Grab di negara asalnya, Malaysia, harus menelan pil pahit akibat dijatuhi denda sebesar RM 86 miliar atau setara USD 20,5 miliar dari Malaysia Competition Commission (MyCC) pada Oktober 2019.
Bahkan upaya untuk meninjau ulang putusan itu pada Maret lalu juga berbuah penolakan di tingkat Pengadilan Tinggi Malaysia.
MyCC menetapkan denda atas Grab atas tindakan pelanggaran atas ketentuan persaingan usaha tidak sehat dengan menerapkan larangan bagi mitranya untuk mempromosikan dan membantu mengiklankan layanan perusahaan pesaingnya usai keberhasilannya melakukan merger dengan Uber dan menjadikannya pihak yang dominan di pasar.
Grab juga menghadapi tuntutan yang dilayangkan oleh komisi pengawas anti monopoli di Singapura dan Filipina menyusul merger dengan Uber.
Baik Competition and Consumer Commission of Singapore maupun Philippine Competition Commission masing-masing mengenakan denda sebesar USD 9,5 juta dan Php 23,45 juta pada Grab setelah merger yang dilakukan sangat cepat dengan Uber justru memicu persaingan usaha tidak sehat di Singapura serta melanggar komitmen soal harga dan kualitas layanan di Filipina. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil