JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bertekad memberlakukan penyesuaian denda kepada Warga Negara Asing (WNA) yang terlambat melaporkan peristiwa kependudukan di Indonesia. Tinggal menunggu restu dari Komisi II DPR RI memanfaatkan momen revisi Undang Undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Restuardy Daud, mengatakan tarif denda untuk WNA selama ini, termasuk dalam UU Adminduk, sebesar Rp 2 juta. Dua kali lebih besar dibandingkan sanksi serupa untuk Warga Negara Indonesia (WNI). "Yang dimaksud dengan denda dalam aturan ini adalah sanksi keterlambatan pelaporan atas peristiwa yang mengakibatkan perubahan data kependudukan pada dokumen kependudukan," ujarnya saat ditemui di kantornya, kemarin.
Perubahan dimaksud dimulai dari habisnya masa berlaku, perubahan domisili atau mutasi, perubahan status, dan perubahan lain yang bisa mengakibatkan perubahan pergantian dokumen. Terutama untuk WNA yang memang memiliki perbedaan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi WNI.
"Kita sudah coba angkat (ke DPR), dendanya mau ditinjau kembali atau istilahnya dilakukan penyesuaian. Artinya tidak memberlakukan hal-hal yang sifatnya diskriminatif bagi tiap penduduk," ungkap Ardy.
Meskipun statusnya WNA, menurut Ardy, ketika sudah memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) di Indonesia maka dianggap sebagai penduduk. Atas dasar itu maka tidak perlu lagi diberlakukan perbedaan perlakuan terutama dalam hal sanksi itu.
Masa berlaku KITAP yang dipegang WNA bisa berbeda-beda. Tergantung kepada awal pengajuan di Ditjen Imigirasi disesuaikan dengan kepentingannya di Indonesia. Setelah itu, berdasarkan rekomendasi dari Imigrasi maka diserahkan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) untuk dibuatkan "KTP"-nya.
Maka usulan pemerintah sanksi tersebut disesuaikan menjadi setara dengan WNI atau maksimal Rp 1 juta jika terjadi keterlambatan pelaporan. Pemberlakuan kesetaraan itu juga diharapkan memiliki imbas psikologis terhadap petugas atau pejabat berwenang yang mengurus agar tidak ada lagi kesan pemberlakuan tarif lebih tinggi terhadap WNA yang berkepentingan memiliki izin resmi tinggal di Indonesia.
Sehingga diharapkan perilaku "mematok tarif" lebih bisa hilang. "Kami menunggu respon dari komisi II DPR. Usulannya sudah kami sampaikan saat pertemuan kedua dalam pembahasan Revisi UU Adminduk itu. Memang sempat ada yang merespon tidak setuju. Maksudnya supaya tetap dibedakan saja," ucapnya.
Meski begitu, kata Ardy, pemerintah dengan DPR sudah sepakat untuk membawa usulan tersebut ke pembahasan selanjutnya. Dalam pembahasan lebih lanjut nantinya diharapkan terbentuk mekanismenya. "Yang pasti kalau spirit kami itu menghilangkan diskriminasi," tegasnya.
Selama ini denda atas keterlambatan perbaikan dokumen kependudukan dijadikan sebagai salah satu sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hanya saja belum sampai tercatat data berapa nilai yang didapat sejauh ini di pemerintah pusat.
Penyesuaian denda kepada WNA memang sempat muncul dalam rapat kerja antara Komisi II dengan Mendagri Gamawan Fauzi (19/6). Fraksi PKB termasuk yang menyoroti perlunya penyesuaian denda administrasi antara WNI dan WNA. Penyesuaian yang masuk dalam bagian revisi UU Adminduk itu untuk memberikan penegasan aturan antara WNI dan WNA, tanpa ada diskriminasi. (gen)
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Restuardy Daud, mengatakan tarif denda untuk WNA selama ini, termasuk dalam UU Adminduk, sebesar Rp 2 juta. Dua kali lebih besar dibandingkan sanksi serupa untuk Warga Negara Indonesia (WNI). "Yang dimaksud dengan denda dalam aturan ini adalah sanksi keterlambatan pelaporan atas peristiwa yang mengakibatkan perubahan data kependudukan pada dokumen kependudukan," ujarnya saat ditemui di kantornya, kemarin.
Perubahan dimaksud dimulai dari habisnya masa berlaku, perubahan domisili atau mutasi, perubahan status, dan perubahan lain yang bisa mengakibatkan perubahan pergantian dokumen. Terutama untuk WNA yang memang memiliki perbedaan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi WNI.
"Kita sudah coba angkat (ke DPR), dendanya mau ditinjau kembali atau istilahnya dilakukan penyesuaian. Artinya tidak memberlakukan hal-hal yang sifatnya diskriminatif bagi tiap penduduk," ungkap Ardy.
Meskipun statusnya WNA, menurut Ardy, ketika sudah memiliki Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) di Indonesia maka dianggap sebagai penduduk. Atas dasar itu maka tidak perlu lagi diberlakukan perbedaan perlakuan terutama dalam hal sanksi itu.
Masa berlaku KITAP yang dipegang WNA bisa berbeda-beda. Tergantung kepada awal pengajuan di Ditjen Imigirasi disesuaikan dengan kepentingannya di Indonesia. Setelah itu, berdasarkan rekomendasi dari Imigrasi maka diserahkan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) untuk dibuatkan "KTP"-nya.
Maka usulan pemerintah sanksi tersebut disesuaikan menjadi setara dengan WNI atau maksimal Rp 1 juta jika terjadi keterlambatan pelaporan. Pemberlakuan kesetaraan itu juga diharapkan memiliki imbas psikologis terhadap petugas atau pejabat berwenang yang mengurus agar tidak ada lagi kesan pemberlakuan tarif lebih tinggi terhadap WNA yang berkepentingan memiliki izin resmi tinggal di Indonesia.
Sehingga diharapkan perilaku "mematok tarif" lebih bisa hilang. "Kami menunggu respon dari komisi II DPR. Usulannya sudah kami sampaikan saat pertemuan kedua dalam pembahasan Revisi UU Adminduk itu. Memang sempat ada yang merespon tidak setuju. Maksudnya supaya tetap dibedakan saja," ucapnya.
Meski begitu, kata Ardy, pemerintah dengan DPR sudah sepakat untuk membawa usulan tersebut ke pembahasan selanjutnya. Dalam pembahasan lebih lanjut nantinya diharapkan terbentuk mekanismenya. "Yang pasti kalau spirit kami itu menghilangkan diskriminasi," tegasnya.
Selama ini denda atas keterlambatan perbaikan dokumen kependudukan dijadikan sebagai salah satu sumber Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hanya saja belum sampai tercatat data berapa nilai yang didapat sejauh ini di pemerintah pusat.
Penyesuaian denda kepada WNA memang sempat muncul dalam rapat kerja antara Komisi II dengan Mendagri Gamawan Fauzi (19/6). Fraksi PKB termasuk yang menyoroti perlunya penyesuaian denda administrasi antara WNI dan WNA. Penyesuaian yang masuk dalam bagian revisi UU Adminduk itu untuk memberikan penegasan aturan antara WNI dan WNA, tanpa ada diskriminasi. (gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapolri Janji Tindaki Pendemo Anarkis
Redaktur : Tim Redaksi