Deng Xiaoping: Reformasi dan Pembebasan Pikiran Tiongkok

Oleh Odemus Bei Witono - Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara

Minggu, 01 Oktober 2023 – 10:39 WIB
Mahasiswa Doktoral Filsafat STF Driyarkara Odemus Bei Witono. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Dewasa ini Tiongkok mengalami perubahan pembangunan yang luar biasa. Kemajuan Tiongkok dalam segala bidang, membuat banyak orang bertanya, apakah Tiongkok sudah menjadi negara kapitalis, atau masih sosialis?

Pertanyaan ini wajar mengingat Tiongkok masa kini tampak berubah secara signifikan. Banyak pusat-pusat industri dan perdagangan di sana.

BACA JUGA: Cerita Dahlan Iskan soal Kereta Cepat, Kenapa Tiongkok Mau?

Supaya tidak keliru menafsirkan, orang perlu melihat alasan mendasar mengapa Tiongkok maju, dan siapa tokoh di balik reformasi Tiongkok modern?

Deng Xiaoping (selanjutnya disebut Deng) merupakan tokoh kunci Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang melanjutkan reformasi pasca Mao Zedong wafat 1976.

BACA JUGA: Cerita Dahlan Iskan dari Kereta Cepat Jakarta-Bandung PP, Apa Bedanya dengan di Tiongkok?

Dalam kepemimpinan Deng, Marxisme diadaptasikan, dikoreksi, dan dikembangkan sesuai dengan cita-cita negara (partai).

Deng (1978) menginstruksikan para kader partai agar mempelajari Marxis-Leninisme dan pemikiran Mao Zedong dengan cara baru, yaitu mengintegrasikan prinsip-prinsip universal Marxisme dengan praktik konkret yang mengupayakan modernisasi, khususnya terkait penerapan tiga bidang: ekonomi, sains & teknologi, dan manajemen.

BACA JUGA: COC Laut China Selatan Harus Bisa Mengekang Perilaku Agresif Tiongkok

Deng yakin, bahwa dengan alat bantu tiga bidang, modernisasi sosialis akan berlangsung cepat dan efisien.

Deng (1978) mendorong para kader partai untuk belajar dengan berbagai cara, melalui praktik, dari buku-buku, dan dari pengalaman, baik positif maupun negatif, baik dari orang lain maupun pengalaman sendiri.

Deng (1978) dalam paparannya mengoreksi pemahaman atau tindakan keliru dari kader-kader tertentu mengenai Marxis-Leninisme, misalnya:

(1) Lin Biao dan the Gang of Four telah menciptakan "zona terlarang" ideologis yang mengajarkan keyakinan buta dalam kerangka Marxisme palsu. Orang-orang dilarang berpikir di luar batas yang ditentukan, dan jika melakukannya, mereka akan diserang secara politik.

Tekanan demikian membuat banyak orang merasa takut, dan berhenti memikirkan suatu pertanyaan atau jawaban.

(2) Sentralisme demokrasi oleh oknum tertentu mengakibatkan birokratisasi, demi lebih dapat mengendalikan rakyat daripada melayani.

Keputusan penting seringkali dibuat oleh segelintir orang, sedangkan yang lain hanya mengikuti perintah. Kejadian demikian, mengurangi insentif untuk berpikir sendiri.

(3) Tidak ada pembedaan yang jelas antara tindakan yang benar dan salah, dan hukuman atau penghargaan tidak selalu diberikan dengan tepat.

Orang yang bekerja dengan baik pun bisa diserang, sedangkan yang tidak melakukan apa-apa bisa lewat tanpa hambatan.

Hal ini membuat orang enggan menggunakan pikiran mereka. (4) Adanya masyarakat yang masih terikat pada kebiasaan dan konvensi lama. Mereka puas dengan status quo dan tidak tertarik untuk mencari kemajuan atau menerima hal baru.

Deng (1978) mengingatkan kader partai agar pembebasan pikiran melalui (1) pembebasan relasi produksi; (2) pembebasan kekuatan produksi dilakukan dengan menggunakan pemikiran mencari kebenaran dari fakta-fakta, dan bersatu dalam merencanakan masa depan.

Hanya dengan cara ini para kader dapat menemukan solusi yang tepat untuk masalah-masalah yang timbul dan yang telah diwariskan. Dengan emansipasi pikiran, para kader dapat mereformasi aspek-aspek hubungan produksi dan struktur sosial yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang benar.

Upaya dan strategi Deng dalam mereformasi negara dilanjutkan oleh para pimpinan PKT, dan kepala pemerintahan di Tiongkok.

Perkembangan Tiongkok sungguh luar biasa. Kalau orang sepintas berkunjung ke Tiongkok sekarang untuk beberapa hari, bisa keliru menganalisis, dan mengatakan bahwa Tiongkok sudah sepenuhnya menjadi negara kapitalis.

Padahal tidak. Tiongkok bukan negara kapitalis, melainkan sosialis yang menggunakan ekonomi, sains & teknologi, dan manajemen.

Mekanisme pasar/kapitalisme hanya dilihat sebagai alat untuk mencapai tujuan. Indikasi kuat yang menunjukkan Tiongkok masih sosialis adalah sebagai berikut: adanya kendali absolut PKT atas negara, angkatan bersenjata dan masyarakat; dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menguasai sektor-sektor strategis (91 dari 117 perusahaan terbesar di Tiongkok adalah BUMN, Fortune Global, 2020).

Dalam analisis Mitter, Rana & Johnson, Elsbeth (2021) PKT sejak 1949 telah menjadi pusat institusi, masyarakat, dan pengalaman sehari-hari yang membentuk masyarakat Tiongkok.

PKT menekankan kesinambungan sejarah Tiongkok dan pemikiran Marxis-Leninisme, termasuk semua yang tersirat di dalamnya kepada seluruh kader.

Akibatnya, Tiongkok hingga sekarang tetap menjadi negara sosialis, walau dalam penampakan kelihatan modern, maju seperti negara-negara Barat.

Sebagai catatan akhir, Tiongkok modern tetap menganut paham sosialisme dalam membangun kemajuan negara.

Pembebasan Pikiran oleh Deng dilakukan melalui pembebasan relasi produksi, dan kekuatan produksi.

Sentra-sentra bisnis yang ada di Tiongkok sebenarnya hanya alat mekanisme pasar/kapitalisme untuk mencapai tujuan PKT.(***) 


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler