Dengan Bersembunyi Syiah Dapat Bertahan

Jumat, 31 Agustus 2012 – 15:35 WIB
Jalaluddin Rahmat. Foto: antaranews.com
TUMBUH di lingkungan keluarga Nahdiyyin, tak ada yang menyangka bahwa pakar komunikasi dari Universitas Padjajaran Bandung, Jalaluddin Rahmat akan menjadi seorang Syiah. Pria yang biasa disapa Kang Jalal ini bahkan menjadi Ketua Dewan Syuro di Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), satu-satunya ormas Syiah yang diakui oleh negara.

Sebagai penganut aliran Islam Syiah yang menjadi minoritas di negeri ini, Jalal dan kelompoknya harus sembunyi-sembunyi supaya bisa bertahan. Penulis buku "Psikologi Komunikasi", kitab kuningnya mahasiswa fakultas komunikasi, mengaku heran mengapa kelompoknya harus dipandang sebagai ancaman. Bahkan ada beberapa pihak yang menyebut bahwa darah kelompok Syiah adalah halal.

Menurut Jalal, aksi penyerangan terhadap kelompok Syiah di Sampang, Madura adalah bukti nyata adanya konflik agama. Bukan sekedar konflik antar keluarga. Pendiri Islamic Cultural Center (ICC) ini menilai bahwa upaya untuk menutupi diskriminasi terhadap penganut Syiah memang nyata.

"Yang terjadi itu bukan konflik keluarga yang mengatasnamakan agama, tapi konflik agama yang menggunakan konflik keluarga," kata Jalal kepada wartawan JPNN, Mohammad Adil.

Jalal menegaskan, selama ini orang-orang Syiah selalu berupaya menjaga persatuan umat Islam dan kerukunan umat beragama di Tanah Air. Demi persatuan tersebut, para pengikut Syiah rela menutupi jati dirinya. Berikut petikan wawancara JPNN dengan Kang Jalal saat ditemui di kediaman pribadinya di kawasan Kemang, Jakarta, Kamis (30/8) siang lalu.

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan Syiah?
Syiah secara bahasa artinya golongan, pada awalnya. Artinya pengikut secara istilah. Syiah adalah orang yang mengikuti nabi melalui keluarganya. Alhul sunnah mengikuti nabi melalui para sahabat. Syiah mengikuti nabi melalui keluarganya, pada awal itu bedanya.

Sejauh apa perbedaannya dengan Sunni?
Hampir tidak ada bedanya. Misalkan ada orang kafir melihat Sunni dan Syiah shalat, pasti tidak akan tahu bedanya. Terlalu banyak yang sama. Tapi kalo diperhatikan lebih rinci baru kelihatan. Seperti tangannya lurus ketika shalat dan orang Syiah tidak membaca amin. Tapi perbedaan seperti itu tidak membuat salah satunya jadi sesat.

Lalu mengapa bisa ada konflik antara Sunni dan Syiah?
Itu kepentingan-kepentingan kelompok lah dan biasanya bukan kepentingan agama, tapi kepentingan duniawi. Dan orang-orang yang perlu dengan kepentingan itu membesar-besarkan dan mencari-cari perbedaan itu. Jangankan dengan Syiah, dalam Sunni sendiri pun seperti NU dan Muhammadiyah saja kalau kita besarkan perbedaan ya ketemu juga, perbedaan qunut dan tidak qunut, tahlil dan tidak tahlil.

Dari sejarahnya, Syiah sendiri sejak kapan berkembang di indonesia?
Syiah itu sudah ada sejak penyebar Islam pertama masuk ke Indonesia. Terutama dibawa oleh orang-orang Arab yang datang dari Hadramaut (Yaman), Islam yang mereka bawa adalah Syiah. Penyebarannya, pusat yang paling besar itu Bandung, Jakarta, Makassar dan Palembang juga. Sejak awal masuk Syiah sudah ditolak, tapi untuk penyerangan yang terbesar sampai sekarang, ya di Sampang itu.

Seberapa besar jumlah penganut aliran Islam Syiah di Indonesia?
Ada 3 perhitungan. Yang pertama perhitungan minimal yang dilakukan oleh lembaga negara. Mereka melakukan penelitian dan hanya ada 500 ribu orang di seluruh Indonesia, jadi minoritas terkecil. Dalam perkiraan yang lain, Syiah di Indonesia 3 sampai 5 juta orang. Perkiraan saya sendiri sekitar 2,5 juta orang di seluruh Indonesia.

Tidak banyak orang tahu tentang Syiah di Indonesia, kenapa?
Karena orang Syiah melebur ikut dengan Ahlul Sunnah, mereka sengaja memelihara persatuan dan tidak menampakan kesyiahan. Bahkan sampai sekarang nggak ada masjid Syiah kecuali yang di Sampang itu, itu kan dibakar. Kita di IJABI juga melarang mereka untuk mendirikan masjid. Dan itu membuat orang Syiah lebih sulit diserang dibanding dengan Ahmadiyah yang punya mesjid sendiri.

Seperti apa contoh peleburan Syiah di antara masyarakat?
Banyak orang Syiah yang menjadi khatib di masjid-masjid Ahlul Sunnah. Saya sendiri jadi khatib tetap di Masjid Paramadina dan Masjid Al Munnawarah, itu masjid Ahlul Sunnah.  Syiah di Indonesia sebenarnya nggak jelas, orang-orangnya siapa juga nggak jelas karena berada bersama Ahlul Sunnah. Kecuali mungkin orang  seperti saya yang sudah menampakkan diri, sudah pasang badan, ada organisasinya. Tapi Syiah secara keseluruhan tidak, dan kebanyakan orang Syiah berada di luar organisasi (IJABI), bahkan ada yang kita titipkan di berbagai tempat. Sekarang ada orang Syiah yang jadi ketua ormas, ada yang jadi anggota legislatif, dan di partai politik. Ada orang Syiah jadi aparat negara sehingga dalam urusan kemarin ini di Sampang, saya berhubungan dengan aparat-aparat yang saya ketahui kalau mereka Syiah. Dan hanya orang Syiah yang tahu siapa Syiah itu.

Lalu kenapa harus bersembunyi? Apakah ada ketakutan?
Tidak ada mahzab yang lebih bersedia menumpahkan darahnya dari Syiah. Ini bukan masalah berani tidak berani, ini masalah kesetiaan kita pada persatuan umat Islam, pada kerukunan umat beragama. Kenapa kita harus dirikan masjid sendiri kalau kita masih bisa shalat di masjid yang lain? Apakah kita ingin pecah umat ini? Dan kita lebih memilih persatuan. Kita mencoba untuk menjadi inklusif, tidak eksklusif.

Ada keputusan untuk bersembunyi, artinya penolakan terhadap Syiah itu nyata dan besar?
Ya, itu nyata. Dan kenapa orang Syiah banyak bersembunyi, karena dia tahu kalau dia menampakkan diri, orang akan menolak dan orang-orang mendengarkan ilmunya. Seperti misalnya, seorang dokter ketahuan dia Syiah maka akan langsung ditolak dan tidak ada alasan penolakan itu hanya karena dia Syiah. Kelompok-kelompok radikal ini (yang menolak).

Sampai kapan akan terus bersembunyi?
Mungkin nanti kalau orang-orang Syiah ini sudah kuat. Tapi dalam keadaan lemah, lebih baik kita memilih memelihara persatuan daripada menyebabkan perpecahan. Itu saya sebut dahulukan akhlak di atas fiqih.

Apakah dengan bersembunyi bisa menjadi kuat?
Justru dengan bersembunyi kita jadi kuat. Sepanjang sejarah, orang Syiah itu selama ini dieksekusi, dibunuhin, ditangkap, disiksa. Tapi setelah mereka ngumpet maka bertahanlah Syiah ini. Ada satu kelompok yang terus melawan namanya Khawarij, dia melawan terus tapi sekarang sudah nggak ada lagi di dunia. Kita ini enggak, dengan bersembunyi Syiah dapat bertahan dan menyebarkan ajaran ini pada keturunannya, bahkan bisa jadi lebih kuat.

Syiah di Indonesia tidak signifikan jumlahnya tapi penolakannya cukup besar. Menurut Anda kenapa?
Saya juga tidak mengerti, kita ini padahal kecil sekali. Saya pernah bertanya hal yang sama pada seorang kyai. Jawabannya, "Sekarang Syiah memang kecil tapi kalau dibiarkan jumlah mereka sampai 20 persen saja, kita (Sunni) akan dihabisi." Padahal di wilayah manapun yang jumlah Syiah nya lebih dari 20 persen, tidak pernah terjadi seperti itu. Jadi menurut saya alasannya ketakutan, dan ketakutan itu hanya ada di kepala mereka. Ada juga yang merasa jamaahnya direbut atau ketakutan akan direbut. Hal  seperti ini sangat penting buat kyai-kyai di daerah. Kehilangan 1 atau 2 orang saja bisa jadi masalah besar. Seperti yang terjadi di Jawa Timur, kebencian terhadap Syiah mulanya karena tokoh Syiah itu dari orang-orang NU. Otomatis jamaahnya juga dulunya jamaah NU.

Jadi konflik Sampang itu berlatar agama atau keluarga?
Konflik agama itu sudah ada sebelum konflik keluarga. Tadjul Muluk dan Rois itu mula-mula Syiah. Itu satu keluarga Syiah dan pada waktu mereka bergabung, itu diserang oleh Sunni. Lalu pada tahun 2007 ada pertengkaran antara Tadjul dengan Rois, itu urusan keluarga, pertengkaran keluarga. Kemudian Rois bergabung dengan orang-orang Sunni yang menyerangnya untuk menyerang adiknya (Tadjul). Jadi sebenarnya ini awalnya konflik agama, tapi dimanfaatkan oleh Rois untuk menyerang adiknya. Yang terjadi itu bukan konflik keluarga yang mengatasnamakan agama, tapi konflik agama yang menggunakan konflik keluarga.

Tapi kenapa penyebab konflik yang dimunculkan justru sebalikya?
Ya, memang ada usaha untuk mereduksi ini supaya  tidak meluas. Karena sebenarnya masalah Sunni-Syiah itu bukan cuma masalah lokal tapi bisa jadi konflik internasional. Jadi kalau dilokalisir jadi konflik keluarga, maksud  pemerintah jadi "Ya sudah kalian (Syiah) nggak usah ikut-ikutan, ini masalah keluarga aja kok." Kami sangat menyesali sikap yang mereduksi ini.

Lalu mengapa konflik di Sampang menjadi begitu berdarah?
Karena mereka (Syiah) lemah, sudah kecil lemah pula. Belum lagi pengaruh dari luar, tambah lagi ada fatwa MUI itu. Fatwa itu berpengaruh sekali karena di Madura kyai itu didengar, preman aja hormat sama kyai. Kalau sudah dianggap sesat maka otomatis darahnya halal.

Adakah usaha untuk mendamaikan Sunni-Syiah?
Banyak, ada beberapa perjanjian internasional. Ada yang namanya Deklarasi Mekkah, Deklarasi Oman dan yang terakhir untuk memperkuat perjanjian internasional, Deklarasi Bogor di Istana Bogor. Di situ dibuat kesepakatan untuk rekonsiliasi Sunnah dan Syiah di bawah pimpinan SBY. Secara nasional juga banyak yang berusaha mendekatkan, seperti Said Aqil dari NU, Buya Syafie Maarif dari Muhammadiyah berusaha mendekatkan Sunni dan Syiah. Beberapa orang majelis ulama juga, seperti Doktor Qurais Syihab, Prof Doktor Umar Syihabdan almarhum Gus Dur juga mendekatkan Sunni dan Syiah. Tapi di bawah itu tidak ada.

Masyarakat kita kan aneh, walaupun mereka tokoh-tokoh sudah berbicara ataupun bahkan, misalnya saja Mahkamah Agung sudah mengeluarkan keputusan untuk membenarkan Gereja Yasmin bisa beroperasi kembali, eh bisa dibatalin sama RW setempat. Itu hebatnya negara kita.(dil/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Pernah Menyebut Menag Terlibat

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler