Denny Bela Grasi untuk Corby

Dinilai Tak Konsisten Perangi Kejahatan Luar Biasa

Sabtu, 26 Mei 2012 – 06:32 WIB

JAKARTA - Denny Indrayana kembali membuat pernyataan kontroversial. Kali ini, Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Wamenkumham) membela grasi untuk  Schapelle Leigh Corby. Dia mendukung keputusan Presiden SBY yang memberikan pengurangan hukuman lima tahun kepada napi narkoba asal Australia itu. Padahal, Denny selama ini dikenal sebagai pejabat yang mencetuskan ide pengetatan remisi bagi narapidana korupsi dan narkoba.

’’Kalau ada kepala negara, sekelas SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) meminta warga negara kita di Arab Saudi, TKI kita, supaya tidak dihukum mati, di mana letak salahnya" Artinya kalaupun itu (permintaan dari Ausutralia) ada, kenapa?’’ kata Denny di kantornya, Jumat (25/6).

Denny juga menyinggung tentang alasan grasi untuk Corby itu sebagai upaya diplomasi bagi kepentingan Indonesia di luar negeri. Di antaranya upaya pengembalian aset Hendra Rahardja dan pelaku korupsi lainnya yang ada di negeri Kanguru itu bisa diseriusi Pemerintah Australia.

Denny menambahkan, pemerintah justru bakal dianggap tidak konsisten jika menolak permintaan negara lain yang warganya dihukum di Indonesia. Sebab, di sisi lain semua pihak malah sering mendesak SBY agar proaktif meminta Pemerintah Arab Saudi mengampuni WNI yang terancam hukuman mati di negeri kaya minyak itu.

Meski demikian Denny tak mau jika grasi untuk Corby itu dianggap barter. ’’Gak ada sistem barter, tetapi sistem diplomasi. Dalam kaitan ini kita tidak hanya bicara narkotik,’’ tambahnya.

Pernyataan Denny itu berseberangan dengan pendapat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang menilai pemberian grasi kepada terpidana 20 tahun itu justru sebagai bentuk inkonsistensi Presiden SBY untuk memberantas pelaku kejahatan luar biasa (extraordinary crime) termasuk narkoba.

Secara konstitusional, pemberian grasi itu memang sah. Tetapi, Mahfud mengingatkan adanya komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberantas tanpa kompromi empat kejahatan luar biasa. ’’Salah satunya narkoba. Semestinya, (semua pelaku) diberi hukuman berat. Tapi, Corby ini kenapa diberi grasi, sementara yang lain tidak?’’ kata Mahfud di sela diskusi Mencari Negarawan yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII) di Hotel Gran Melia, Jakarta, (24/5).

Adapun tiga kejahatan besar yang lain adalah korupsi, terorisme, dan pembunuhan berencana. Kejahatan narkoba, lanjut Mahfud, jauh lebih berbahaya daripada praktik korupsi dan terorisme. Dia membandingkan ketika seorang teroris atau koruptor dihukum mati, hanya pelaku bersangkutan yang mati. Tetapi, narkoba terus mematikan generasi. ’’Narkoba itu kejahatan yang membunuh kehidupan,’’ tegas pria kelahiran Sampang, Madura, Jawa Timur, 13 Mei 1957, itu.

Menurut Mahfud, selain aspek formal-konstitusional, hukum mempunyai sisi moral. Adanya semacam komitmen untuk keselamatan seluruh bangsa dari bahaya narkoba seharusnya menjadi pertimbangan serius sebelum mengeluarkan grasi bagi seorang terpidana narkoba. ’’Karena itu, saya anggap wajar kalau ada orang yang mempertanyakan komitmen itu meski dari segi hukum memang ada jalan untuk itu,’’ kata Mahfud.

Dia berharap tidak ada alasan politis di balik keputusan grasi yang diberikan Presiden SBY. ’’Mudah-mudahan pertimbangannya bukan politis,’’ tegas Mahfud.(rko)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dana Perjalanan Dinas Bobol Hingga 40 Persen


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler