JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR Almuzzammil Yusuf mengatakan temuan Panitia Kerja (Panja) DPRD Poso yang diserahkan ke Komisi III DPR, Selasa (2/4) menyebutkan bahwa kasus di Poso bukan lagi masalah konflik Muslim dan non-Muslim.
"Konfliknya bukan lagi soal Muslim dengan non-Muslim, tapi konflik saat ini dipicu antara kelompok tertentu dengan aparat kepolisian. Kalaupun ada potensi konflik Muslim dengan non-Muslim pengaruhnya relatif kecil,” kata Almuzzammil Yusuf, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Rabu (3/4).
Demikian juga halnya dengan penjelasan dari pihak tokoh agama, masyarakat dan keluarga korban yang diinvestigasi Panja DPRD Poso sejak Januari 2013 lalu. Kurang lebih keterangan mereka mengarah seperti itu.
Lebih jauh dikatakannya, kasus Poso membesar karena penanganan terorisme oleh Densus 88 cenderung berlebihan dan demonstratif. Akibatnya, mayoritas masyarakat umum yang tidak terlibat menjadi antipati terhadap Polri.
“Pendekatan oleh Densus dalam penanganan diduga terorisme di Posos cenderung refresif dan terkesan main tangkap dan tembak tanpa proses hukum yang adil dan transparan,” tegasnya.
Menurut para tokoh masyarakat dan anggota DPRD di Palu, lanjut politisi PKS itu, Poso sengaja dicitrakan sebagai pusat terorisme dan dijadikan sebagai pusat instabilitas yang permanen oleh pihak asing. ”Mereka setuju teroris diberantas, tapi mereka meminta agar julukan poso sebagai pusat terorisme dihapus dari wacana publik,” ungkap Almuzzammil Yusuf.
Dia menyarankan, Presiden SBY dan Kapolri melakukan evaluasi yang komprehensif dalam penanganan terorisme oleh Densus 88 agar tidak banyak korban berjatuhan. Jika tidak segera dievaluasi, dampak kerja Densus 88 akan menjadi beban polisi lokal yang disikapi antipati oleh masyarakat sehingga hubungan mereka menjadi tegang.
“Evaluasi terpenting adalah pendekatan kekerasan yang main tembak harus diganti dengan pendekatan persuasif dan simpatik, dialogis, pendekatan kesejahteraan, dan pelurusan pemahaman agama yang dikedepankan sehingga bisa merebut simpati mayoritas masyarakat yang tidak terlibat dalam memberantas terorisme,” sarannya.
Terakhir diminta pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat penegak hukum harus bekerjasama untuk membina masyarakat dan menyosialisasikan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin. “Tanpa melibatkan mereka semua pemberantasan terorisme yang refresif akan melahirkan perlawanan yang lebih besar, terutama dari umat Islam,” tegasnya. (fas/jpnn)
"Konfliknya bukan lagi soal Muslim dengan non-Muslim, tapi konflik saat ini dipicu antara kelompok tertentu dengan aparat kepolisian. Kalaupun ada potensi konflik Muslim dengan non-Muslim pengaruhnya relatif kecil,” kata Almuzzammil Yusuf, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Rabu (3/4).
Demikian juga halnya dengan penjelasan dari pihak tokoh agama, masyarakat dan keluarga korban yang diinvestigasi Panja DPRD Poso sejak Januari 2013 lalu. Kurang lebih keterangan mereka mengarah seperti itu.
Lebih jauh dikatakannya, kasus Poso membesar karena penanganan terorisme oleh Densus 88 cenderung berlebihan dan demonstratif. Akibatnya, mayoritas masyarakat umum yang tidak terlibat menjadi antipati terhadap Polri.
“Pendekatan oleh Densus dalam penanganan diduga terorisme di Posos cenderung refresif dan terkesan main tangkap dan tembak tanpa proses hukum yang adil dan transparan,” tegasnya.
Menurut para tokoh masyarakat dan anggota DPRD di Palu, lanjut politisi PKS itu, Poso sengaja dicitrakan sebagai pusat terorisme dan dijadikan sebagai pusat instabilitas yang permanen oleh pihak asing. ”Mereka setuju teroris diberantas, tapi mereka meminta agar julukan poso sebagai pusat terorisme dihapus dari wacana publik,” ungkap Almuzzammil Yusuf.
Dia menyarankan, Presiden SBY dan Kapolri melakukan evaluasi yang komprehensif dalam penanganan terorisme oleh Densus 88 agar tidak banyak korban berjatuhan. Jika tidak segera dievaluasi, dampak kerja Densus 88 akan menjadi beban polisi lokal yang disikapi antipati oleh masyarakat sehingga hubungan mereka menjadi tegang.
“Evaluasi terpenting adalah pendekatan kekerasan yang main tembak harus diganti dengan pendekatan persuasif dan simpatik, dialogis, pendekatan kesejahteraan, dan pelurusan pemahaman agama yang dikedepankan sehingga bisa merebut simpati mayoritas masyarakat yang tidak terlibat dalam memberantas terorisme,” sarannya.
Terakhir diminta pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat penegak hukum harus bekerjasama untuk membina masyarakat dan menyosialisasikan pemahaman Islam yang rahmatan lil alamin. “Tanpa melibatkan mereka semua pemberantasan terorisme yang refresif akan melahirkan perlawanan yang lebih besar, terutama dari umat Islam,” tegasnya. (fas/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Suhu Panas Berlangsung Lama
Redaktur : Tim Redaksi