jpnn.com, JAKARTA - Kepala Densus 88 Antiteror Polri Irjen Pol. Martinus Hukom menyampaikan informasi penting terkait kemenangan Taliban di Afghanistan dengan terorisme di Indonesia.
Dia memperkirakan kemenangan Taliban akan membangkitkan sel tidur terorisme di Indonesia.
BACA JUGA: Syarat Jadi Santri di Ponpes ini Top, Presiden Sampai Mengapresiasi
Karena itu, Polri meminta masyarakat mewaspadai penyebaran paham terorisme yang saat ini gencar dilakukan melalui media sosial.
Irjen Martinus menyatakan hal tersebut pada webinar 'Meningkatkan Partisipasi, Terorisme Dapat Ditanggulangi' yang diselenggarakan Divisi Humas Polri, Selasa (31/8).
BACA JUGA: Ini Hukuman yang Layak Bagi Yahya Waloni dan Muhammad Kece
Irjen Martinus juga menyebut Densus 88 sudah menangkap 309 orang dalam beberapa waktu terakhir.
Penangkapan kemungkinan besar masih akan terus dilakukan.
BACA JUGA: Begini Cara Dian Sastro Mengajari Anak Antisipasi COVID-19
Sebab, meski sudah banyak yang ditangkap, kelompok terorisme tetap menggunakan media sosial untuk menyebarkan pahamnya.
"Mereka selalu mempertentangkan Pancasila dengan ideologi lain," katanya.
Sementara itu, Deputi VII BIN Wawan Hari Purwanto mengakui fenomena kemenangan Taliban di Afghanistan telah memicu kekhawatiran sejumlah pihak tentang kebangkitan paham radikal dan teror.
Keresahan ini terbukti dengan adanya ledakan bom di luar Bandara Kabul, 26 Agustus lalu.
“Peristiwa tersebut menyisakan tanda tanya bagaimana modus baru gerakan terorisme saat ini dan bagaimana partisipasi publik menekan aksi tersebut,” tuturnya.
Wawan kemudian memaparkan sejumlah modus baru terorisme berdasarkan catatan yang ada.
Antara lain, menjadikan perempuan sebagai pengantin, pendanaan teroris melalui kotak amal, lone wolf atau serangan teroris seorang diri dan menggunakan milenial.
Sementara pengamat intelijen Dr. Susaningtyas NH Kertopati mengemukakan kemenangan Taliban di Afghanistan telah menjadi glorifikasi dan justifikasi bagi bangkitnya sel tidur terorisme di Indonesia.
“Yang kita hadapi adalah ancaman ideologi radikalisme yang akan terus mencari wadah baru untuk berkembang, dengan sasaran negara-negara berpenduduk muslim besar seperti Indonesia,” ucapnya.
Nuning mencemaskan menguatnya intoleransi, radikalisme khususnya di dunia maya di kalangan siswa, mahasiswa, remaja, dan anak muda, serta perempuan yang menjadi pelaku terorisme.
Dia menyebut saat ini narasi yang kerap kali hadir adalah narasi ideologis yang berwujud pro dan anti Pancasila.
Untuk itu, Polri dituntut tegas terhadap segala hal yang mengganggu keutuhan NKRI serta yang berafiliasi dengan radikalisme.
Namun pembatasan di media sosial diakui Nuning tidak efektif untuk menangkal radikalisme.
Hal yang perlu ditingkatkan menurutnya adalah kemampuan literasi di media sosial masyarakat, bukan hanya sekadar baca tulis.
Namun perlu mampu bernalar untuk merespons propaganda radikalisme.
Dekan Fisip Unair Prof. Bagong Suyanto mengingatkan penyebaran terorisme melalui dunia maya, seperti hoaks, hate speech, dan paham radikalisme.
“Radikalisme dan terorisme tidak bergerak linier,” ucap Bagong.
Menurutnya, spektrum radikalisme adalah pseudo radikalisme hingga radikalisme dan ekstremisme.
Untuk itu, menurut Bagong, peran masyarakat dalam melakukan deteksi dini penting sebagai watchdog.
Pandangan senada juga dikemukakan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Rusdi Hartono.
Dia menyebut tindak pidana terorisme merupakan kejahatan extra ordinary crimes dan dapat digolongkan kejahatan terhadap kemanusiaan, sehingga mendapat perhatian penuh dari pemerintah.
Perhatian ini tercermin dalam penetapan Perpu Nomor 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, serta pembentukan BNPT dan Detasemen Khusus 88 AntiTeror di lingkungan Polri.
“Ini dimaksudkan untuk menanggulangi aksi terorisme dengan sebaik mungkin sehingga dapat memberikan jaminan atas kamtibmas yang kondusif yang pada gilirannya tercipta stabilitas sebagai modal utama pembangunan,” kata Brigjen Rusdi.(gir/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang