Depresiasi Rupiah yang Bikin Resah

Hingga Rp 10.220 Per USD, Ekonomi Masih Aman

Senin, 22 Juli 2013 – 06:30 WIB
RUPIAH kian tak berdaya menghadapi keperkasaan dolar AS. Lantas, sampai level berapakah perekonomian tanah air sanggup melawan tekanan greenback Paman Sam?
----
Pelaku bisnis yang langsung merasakan dampak depresiasi atau pelemahan nilai tukar rupiah adalah importir. Importir tersebut bukan hanya yang memasok barang jadi.

Namun juga pelaku usaha yang mendatangkan barang modal dan bahan baku untuk proses produksi di dalam negeri. Jika importir jenis terakhir ini tertekan, industri domestik juga bakal terpukul.

Selaku otoritas moneter, Bank Indonesia (BI) tahun ini melakukan stress test untuk mengukur dampak depresiasi rupiah terhadap pelaku usaha. "Hasilnya, dengan depresiasi rupiah saat ini, kinerja importir dan perbankan masih solid," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi Johansyah kepada Jawa Pos akhir pekan lalu.

Menurut Difi, BI secara berkala menguji ketahanan perbankan terhadap gejolak makroekonomi. Selain inflasi dan harga minyak dunia, nilai tukar rupiah menjadi faktor yang diwaspadai. "Karena yang ramai adalah rupiah, stress test BI fokus pada dampak depresiasi," katanya.

Dalam uji daya tahan tersebut, BI mengidentifikasi sektor-sektor usaha yang memiliki komponen impor tinggi dalam proses produksi. Sebab, makin tinggi komponen impor dalam proses produksi, pelaku bisnis tersebut makin rentan terhadap gejolak rupiah.

Bank sentral juga mengidentifikasi seberapa banyak dan besar kewajiban kredit yang dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut terhadap perbankan. Asumsinya, jika kinerja debitur menurun, kemampuan membayar kredit pun melemah. Ujungnya adalah potensi makin banyaknya nonperforming loan (NPL) atau kredit macet yang bisa mengancam stabilitas perbankan.

Menurut Difi, dari hasil pemantauan, BI berhasil mengidentifikasi lima sektor yang patut dicermati. "Jumlahnya sekitar 7 ribu perusahaan besar yang dimonitor. Mereka adalah debitur perbankan," katanya.

Difi menyebut, sektor aneka industri memiliki rata-rata kandungan impor hingga 23,97 persen dan total kewajiban kredit Rp 30,80 triliun. Lalu, industri dasar dengan komponen impor 16,04 persen dan total kredit Rp 83,24 triliun.

Perusahaan sektor infrastruktur juga tercatat memiliki kandungan impor cukup tinggi, yakni hingga 13,94 persen dan total kredit Rp 45,10 triliun. Selanjutnya, sektor consumer goods dengan komponen impor 4,27 persen dan total kredit Rp 2,53 triliun. Juga industri perdagangan dengan komponen impor 4,22 persen dan total kredit Rp 120 miliar.

Jika diperinci, lanjut dia, sebagian besar perusahaan yang dimaksud bergerak di industri makanan dan minuman, pulp and paper, transportasi/otomotif, tekstil, makanan ternak, bahan kimia, mesin, dan plastik.

Data BI menunjukkan, per akhir 2012, sekitar tujuh ribu perusahaan tersebut memiliki kredit korporasi Rp 161,8 triliun yang tersebar pada 25.700 rekening di 109 bank. Angka kredit NPL tercatat 3,1 persen alias masih dalam koridor aman, yakni di bawah standar 5 persen.

BI mengukur dampak depresiasi rupiah sepanjang 2012. Di awal tahun (2 Januari 2012), rupiah berada di posisi 9.125 per USD dan di akhir tahun (28 Desember 2012) di posisi 9.670 per USD. Dengan demikian rupiah terdepresiasi 5,97 persen.

BI lantas melakukan rangkaian uji ketahanan dengan asumsi rupiah melemah 6 persen, 9 persen, hingga 12 persen. Jika dihitung dari posisi awal 2012, pelemahan 12 persen berarti rupiah sampai pada posisi 10.220 per USD. Artinya, 150 poin dibanding penutupan akhir pekan lalu yang di posisi 10.070 per USD.

Bagaimana hasil uji ketahanan tersebut? Jika rupiah melemah hingga 10.220 per USD, laba perusahaan sektor manufaktur dengan komponen impor tertinggi bakal menyusut 2,88 persen. Penyusutan laba tersebut menurunkan debt service coverage ratio (DSCR) atau kemampuan membayar kredit 0,19 persen.

"Stress test ini hanya mempertimbangkan faktor rupiah. Jadi, tidak menghitung potensi turunnya permintaan karena perlambatan ekonomi," jelasnya.

Nah, penurunan laba tersebut berdampak pada potensi kredit macet perbankan yang akan naik dari 1,94 persen menjadi 1,95 persen. Sedangkan rasio kecukupan modal (CAR) akan turun tipis dari 17,32 persen menjadi 17,31 persen.

"Jadi, efek pelemahan rupiah ini tidak signifikan dan perbankan kita masih memiliki modal yang kuat," jelasnya.

Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Arifianto mengatakan, saat ini dengan berbagai rasio yang ada, perbankan Indonesia memang masih memiliki bantalan cukup kuat untuk menghadapi gejolak makroekonomi. "Dibanding negara lain, posisi perbankan Indonesia masih lebih baik," ujarnya. (owi/c2/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... OJK Panggil Ustad Yusuf Mansur

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler