jpnn.com, JAKARTA - Kongres Advokat Indonesia bersama HeyLaw dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga menyampaikan catatan akhir tahun terkait peristiwa hukum penting yang terjadi sepanjang 2021.
Pihaknya mencatat banyak isu yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan itu harus diselesaikan pemerintah.
BACA JUGA: Selamat! Inilah Pemenang Legal Opinion Competition Fakultas Hukum Trisakti
Hal ini disampaikan dalam acara Catatan Akhir Tahun 2021 yang digelar Kongres Advokat Indonesia (KAI) dengan Heylaw, dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Kamis (23/12).
Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto mengatakan apresiasi juga disampaikan kepada Pemerintah Jokowi yang bisa mengendalikan Covid-19 dan pertumbuhan ekonomi, meski penegakan hukum masih terbelakang.
BACA JUGA: Wamenkumham Buka-bukaan soal Faktor Penanganan Hukum di Pasar Modal
Sementara itu, isu kebebasan berpendapat dan Putusan MK mengenai Undang-Undang Cipta Kerja yang fokus utama dalam diskusi kali ini.
Mengenai isu kebebasan berpendapat, menurut dia, Indonesia saat ini masuk kategori demokrasi cacat atau satu peringkat di bawah negara dengan status demokrasi penuh.
BACA JUGA: Bincang Hukum Perbarindo Perkuat Fungsi dan Peran Dewan Komisaris
Kemunduran demokrasi ini dipicu oleh tekanan terhadap kebebasan sipil, yang ditandai dengan maraknya kekerasan penangkapan terhadap aktivis dan masyarakat adat. Intimidasi juga menyasar mahasiswa dan akademisi yang menggelar diskusi ilmiah.
"Sehingga isu kebebasan berpendapat masih menjadi sorotan tajam hukum yang berjuang menuju keadilan yang selalu diperjuangkan,” kata dia.
Selanjutnya terkait perlindungan data pribadi (PDP) yang sudah dibahas dalam RUU oleh DPR menjadi buah bibir dalam diskusi kali ini. Mendesak supaya parlemen dan pemerintah segera mensahkannya.
Kemudian yang menjadi cacatan KAI adalah isu kekerasan seksual atau RUU PKS. Isu ini semakin pelik karena Komnas Perempuan mencatat ada lonjakan kasus kekerasan kepada perempuan sepanjang 2021 atau mencapai 4.500 kasus.
Terakhir ada UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Sebab, untuk pertama kalinya sejak berdiri, Mahkamah Konstitusi mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Mahkamah Konstitusi memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja dalam jangka waktu dua tahun.
Jika Undang-Undang Cipta Kerja tidak diperbaiki dalam dua tahun, maka peraturan dan pasal yang diubah atau dicabut oleh Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali.
Sementara itu Awaludin Marwan selaku founder HeyLaw mengatakan pihaknya menyatakan sejumlah sikap atas sejumlah catatan hukum tersebut.
“Pertama, mendesak pemerintah untuk menjamin hak kebebasan berpendapat masyarakat sesuai yang telah diamanatkan dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata dia.
Kedua, mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) karena payung hukum terkait dengan perlindungan data pribadi sangat urgen keberadaannya guna melindungi hak privasi warga negara.
Ketiga mendesak m pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS karena seperti yang diketahui bahwa kasus-kasus kekerasan seksual sudah sangat marak terjadi sepanjang tahun 2021.
“Keempat, mendesak DPR untuk segera memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja sesuai dengan rekomendasi Mahkamah Konstitusi dan memberikan literasi kepada masyarakat,” kata dia.
Diskusi catatan akhir tahun juga dihadiri oleh sejumlah tokoh seperti Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Iman Prihandono, PhD; Prof Martitah; Advokat Diyah Sasanti; dan artis Barbie Kumalasari. (cuy/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Elfany Kurniawan