jpnn.com, JAKARTA - Pemerintah tengah berupaya mengendalikan dampak ekonomi akibat pandemi dengan menebar berbagai insentif yang ditujukan bagi industri untuk mendorong pergerakan perekonomian nasional.
Namun nyatanya, insentif tersebut kurang dimanfaatkan oleh pelaku usaha dan dinilai belum optimal. Hal ini mendorong pemerintah untuk terus mengkaji ulang bentuk pemberian insentif agar lebih tepat sasaran dan bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh mereka.
BACA JUGA: Lakukan Efisiensi Bisnis, Strategi Gojek Agar Bertahan di Tengah Pandemi
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu mengatakan, dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah telah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp600 triliun untuk biaya penanganan COVID-19.
Dari jumlah tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk insentif usaha sebesar Rp120,61 triliun.
BACA JUGA: Strategi Pulihkan Ekonomi Saat Pandemi, Pemerintah Harus Maksimalkan Peluang Relokasi Investasi
Sayangnya, realisasi penerima insentif usaha masih belum optimal. Dari total anggaran sebesar Rp120,61 triliun, realisasi penerimaan insentif pajak untuk pelaku usaha baru mencapai 6,8 persen.
Febrio mengakui, program stimulus fiskal ini masih menghadapi berbagai tantangan di tingkat operasional. Pemanfaatan insentif oleh pelaku usaha dan pembiayaan korporasi masih jauh dari optimal.
BACA JUGA: RUU Cipta Kerja Diyakini Akan Membuat Ekosistem Investasi di Daerah Meningkat
"Banyak wajib pajak yang elligible untuk menerima insentif namun tidak mengajukan permohonan," ujar Febrio dalam APINDO Members Gathering bertajuk Peran Kebijakan Akselerasi Produk Inovasi di Era New Normal.
Karena itu, Febrio mengatakan, otoritas membuka ruang adanya revisi kebijakan insentif fiskal jika memang realisasinya tidak optimal. Pemerintah juga akan lebih fleksibel dalam melihat insentif apa yang berhasil dan yang tidak untuk mengoptimalkan penggunaan insentif dalam rangka mendorong perekonomian pasca COVID-19.
"Policy design akan kami lihat setiap minggu. Kami akan lihat juga insentif lainnya seperti apa kondisinya. Jadi, bisa dilakukan perubahan jika memang perlu," ujar Febrio.
Terkait pemberian insentif dalam rangka menarik investasi, Febrio mengatakan, ada tiga hal yang menjadi patokan.
Pertama, apakah insentif untuk investasi tersebut akan memberikan value added yang lebih besar terhadap perekonomian dibandingkan penerimaan pemerintah yang hilang.
Kedua, apakah investasi tersebut merupakan investasi yang berdaya saing tinggi sehingga akan menghasilkan surplus transaksi berjalan. Ketiga, investasi tersebut harus menciptakan lapangan kerja.
Menanggapi hal tersebut, Partner of Tax Research and Training Services Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Bawono Kristiaji mengatakan, pemerintah sebetulnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan insentif fiskal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi.
Namun, Bawono menilai, pemerintah kini perlu mengkaji ulang pemberian insentif tersebut. Sebab, pandemi COVID-19 telah menyebabkan perubahan perilaku di sisi pelaku usaha, UMKM, dan masyarakat umum.
Makanya, menurut Bawono, salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing pascapandemi adalah melalui instrumen pajak, misalnya pungutan pajak yang lebih rendah untuk mobil listrik karena memiliki eksternalitas negatif yang juga rendah.
PascaCOVID-19, Bawono berharap, pemerintah menciptakan rezim fiskal yang membantu terciptanya berbagai inovasi. Semua instrumen fiskal bisa dimanfaatkan, termasuk PPnBM dan cukai.
“Hal ini dapat menjadi pertimbangan akses konsumen pada produk yang terjangkau dan keberlangsungan perusahaan jangka panjang,” tutup Bawono.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy